Pemalsuan Surat Antigen Kejahatan Besar

- Selasa, 3 Agustus 2021 | 10:10 WIB
Pelabuhan Loktuan Bontang, dimana ditemukan penumpang memakai rapid antigen palsu.
Pelabuhan Loktuan Bontang, dimana ditemukan penumpang memakai rapid antigen palsu.

 

BONTANG-Kasus penggunaan rapid antigen palsu di Pelabuhan Loktuan, Bontang, kini dalam penyelidikan polisi. Satreskrim Polres Bontang mulai meminta keterangan beberapa saksi yang diduga terlibat dalam komplotan ini. "Masih proses penyelidikan, nanti pasti kami beber. Yang jelas sudah periksa beberapa saksi, nanti ada lagi yang bakal kami panggil ke polres," kata Kasat Reskrim Polres Bontang Iptu Asriadi.

Selain memanggil beberapa saksi, Satreskrim Polres Bontang juga mengumpulkan bukti di klinik yang dicatut mengeluarkan surat rapid antigen palsu. Salah satunya, dengan memeriksa CCTV klinik yang berlokasi di wilayah Loktuan, Bontang Utara. "Sudah kami periksa, sudah ke Sangatta, Kutai Timur juga," ujarnya. Meski belum bersedia membeber perkembangan penyelidikan, Asriadi memastikan kasus ini sudah ditangani Tim Rajawali Polres Bontang.

Kendati tak ada yang melapor secara resmi ke Polres Bontang, dua temuan penggunaan rapid antigen palsu di Pelabuhan Loktuan sudah cukup menjadi bukti bagi polisi untuk memproses hukum. "Karena adanya temuan itu, langsung kami tindak lanjuti," katanya. Asriadi melanjutkan, pihaknya masih mempelajari pasal-pasal yang nantinya dapat menjerat pelaku. Adapun saat ini, fokus timnya adalah mengejar pelaku pembuat surat rapid antigen yang diduga palsu itu. "Apakah nanti masuk ke pemalsuan dokumen, penipuan atau bahkan bisa dua-duanya," jelasnya.

Temuan kasus pemalsuan hasil rapid test antigen di Pelabuhan Loktuan menjadi bukti bahwa literasi penyebaran virus corona di masyarakat masih minim. Selain itu, kata Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kaltim Nataniel Tandirogang, penegakan hukum terhadap oknum yang mempergunakan hasil rapid test antigen palsu, juga belum optimal. Padahal, tindakan tersebut dimanfaatkan oleh banyak pihak karena dinilai cukup menguntungkan. Pihak yang dia maksud, calon penumpang yang ingin melakukan perjalanan maupun oknum yang melakukan pemalsuan.

Menurutnya, seharusnya kedua pihak yang terlibat harus ditindak tegas. Tidak sekadar teguran, tetapi benar-benar diberikan hukuman yang seberat-beratnya. “Karena ini ‘kan masalah kemanusiaan. Bayangkan, berapa risiko orang yang akan tertular. Dan kemungkinan untuk sakit berat, bahkan meninggal. Hal-hal kecil yang dilakukan ini bisa menimbulkan dampak yang luar biasa besar,” ungkapnya kepada Kaltim Post, Minggu (1/8). Kata dia, temuan kasus rapid test antigen palsu merupakan dampak tidak tertibnya pengawasan terhadap laboratorium yang melayani tes usap.

Sebab, saat ini begitu mudah masyarakat membuat laboratorium yang melayani tes usap. Baik rapid test antigen maupun rapid test polymerase chain reaction (RT-PCR). Akhirnya, bisa menjadi sumber-sumber pemalsuan. Lanjut dia, pengawasan klinik atau laboratorium merupakan tanggung jawab Dinas Kesehatan (Diskes) kabupaten/kota.

Adapun IDI, hanya hanya mengingatkan terhadap risiko yang besar ketika ada pemalsuan hasil tes usap.

“Semestinya, itu dianggap sebagai kejahatan yang besar. Karena dampaknya sangat luar biasa. Selain itu, ada unsur penipuan. Dan bisa juga penyalahgunaan wewenang. Namun, saya belum bisa menjawab, apakah bisa diarahkan ke pidana. Saya enggak tahu, bukan wilayah saya,” jelas dia. Pria yang juga menjabat ketua Satgas Covid-19 Universitas Mulawarman (Unmul) ini menilai, penerapan kebijakan yang mewajibkan RT-PCR bagi calon penumpang moda transportasi udara sudah cukup baik.

Hasil RT-PCR terhubung dengan data New All Record (NAR) yang diterbitkan klinik atau laboratorium yang terdaftar di Kementerian Kesehatan (Kemenkes), sehingga bisa dilacak secara nasional di bandara. Akan tetapi, pada moda transportasi laut, calon penumpang masih dibolehkan menggunakan rapid test antigen yang belum terhubung dengan NAR. Dengan demikian, masih menjadi celah adanya pemalsuan. Hal inilah yang menjadi sumber permasalahan. Dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk mengeruk keuntungan.

Sementara manfaat rapid test antigen masih relatif rendah. Walaupun mampu digunakan sebagai saringan pertama. “Dan bukan menyusahkan masyarakat sebenarnya. Karena tujuan pemerintah supaya tidak ada pergerakan yang tidak penting. Kecuali pada kondisi-kondisi tertentu. Misalnya dalam keadaan orang tua meninggal, dalam keadaan sakit parah. Itu ada perlakuan khusus,” jelas dia. Menurutnya, pemalsuan hasil rapid test antigen maupun RT-PCR akan membuat penyebaran Covid-19 tidak terkontrol. Dalam artian, ada orang-orang yang mestinya tidak boleh berpindah karena sebenarnya dia positif Covid-19, tapi karena adanya pemalsuan hasil rapid test antigen itu, orang-orang yang sudah terpapar Covid-19 ini menjadi medium penyebaran yang berbahaya.

“Belum lagi risiko (menularkan) dalam perjalanan. Nah, ini hal-hal yang semestinya ditindak tegas. Baik orangnya (calon penumpang) dan laboratorium-nya (klinik yang menerbitkan hasil rapid test antigen palsu). Kalau ada unsur kesengajaan orangnya untuk meminta antigen palsu, ya laboratorium juga harus ditindak tegas,” beber Nataniel. 

Dengan demikian, penegakan hukum terhadap temuan-temuan pemalsuan seperti itu seharusnya dilakukan seberat-seberatnya. Supaya ada efek jera. Dan itu harus terus-menerus dilakukan pengawasan. “Mungkin kita sehat, tapi orang lain yang melakukan kecurangan yang sama tidak sehat, dan kita menjadi korban. Nah, ini yang mesti disosialisasikan. Bahwa ketika Anda melakukan kecurangan dan orang lain juga melakukan kecurangan, sama-sama punya risiko untuk saling menularkan,” pesan dia.

Dengan demikian, adanya temuan kasus pemalsuan hasil rapid test antigen ini, justru akan lebih menguntungkan pelaku bisnis yang menerbitkan dokumen tersebut. Di mana, calon penumpang hanya perlu membayar Rp 100–Rp 200 ribu, tanpa pemeriksaan untuk mendapatkan hasil rapid test antigen itu. Dan pada akhirnya, jika kasus Covid-19 terus meningkat, tenaga kesehatan yang berada di bagi hilir kelimpungan. Diwartakan sebelumnya, pada Senin (26/7), petugas di Pelabuhan Loktuan Bontang mendapati delapan penumpang yang menggunakan surat rapid antigen palsu. Mereka merupakan penumpang dari Sangatta, Kutai Timur yang hendak berangkat ke Bima, Nusa Tenggara Barat, menggunakan KM Binaiya.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X