PEBULUTANGKIS Guatemala Kevin Cordon membuat lesatan prestasi di Olimpiade Tokyo 2020. Cordon menjadi pebulu tangkis pertama dari kontingen Amerika yang menembus semifinal Olimpiade. Di balik kesuksesan Cordon ini, ada tangan dingin pelatih asal Indonesia Muamar Qadafi. Berikut wawancara wartawan Jawa PosDiar Candra dengan pelatih kelahiran Solo itu (31/7) lewat telepon.
Selamat siang, Mas Dafi. Pertama-tama selamat untuk pencapaian Cordon. Mungkin Mas Dafi bisa berbagi kisah bagaimana akhirnya bisa sampai di Guatemala sebagai pelatih?
Terima kasih, Mas. Ini teman-teman federasi se-Amerika kasih ucapan selamat buat pencapaian Kevin (Cordon). Soal bagaimana saya sampai di Guatemala ini panjang, Mas.
Jadi, pada 2000–2005, saya menjadi asisten Ellen Angelina ngelatih di PB Djarum Kudus. Pada 2005, dua pemain PB Djarum, Roy Purnomo dan Agustinus Hartono, baru kembali dari Peru sebagai sparring partner. Roy dan Agustinus ini dititipi pesan pelatih nasional Peru asal Tiongkok. Intinya tolong dicarikan sosok pelatih yang mau menangani Peru. Lalu, Roy tanya ke saya. Saya timbang-timbang akhirnya saya terima tawaran itu. Saya kemudian mengundurkan diri dari PB Djarum.
Di Peru saya sekitar tiga tahun (2005–2008), kemudian ke Guatemala setahun (2009–2010), balik ke Peru (2011–2012), sempat ke Meksiko (2013–2015), dan sejak 2017 sampai sekarang di Guatemala.
Pengalaman Anda menangani negara-negara Amerika Utara, Tengah, dan Selatan sudah sangat banyak. Fasih berbahasa Spanyol dong?
Dulu modalnya cuma bahasa Inggris. Sekarang bahasa Spanyol saya malah lebih bagus daripada bahasa Inggris. Hehehe. Di awal belajar bahasa Spanyol, saat itu di Peru, saya minta tolong ke pemain-pemain untuk dibuatkan catatan kosakata atau kalimat dalam bahasa Spanyol yang berguna buat keseharian. Kemudian, untuk menambah kemampuan, saya beli kamus dan buku tata bahasa Spanyol.
Lebih dari sedekade menangani negara-negara Benua Amerika. Apa yang Mas Dafi lihat terkait dengan SDM dan kultur bulu tangkis di Amerika?
Banyak sekali, Mas. Pelatih di Benua Amerika ini bertugas menciptakan pemain. Karena kita tahu talent terbatas. Sepak bola olahraga nomor satu di sini. Bahkan, ada masyarakat di sana yang tidak tahu apa itu badminton. Googling sebentar, lalu tunjukkan foto orang pegang raket dan kok, baru mereka mengerti.
Kemudian, soal pemain yang rangkap. Tiga sektor langsung malahan. Misalnya, pemain A ini dalam satu turnamen langsung terjun di tunggal putra, ganda putra, dan ganda campuran. Tapi, kultur ini perlahan saya kurangi dan saya dorong muncul adanya spesialisasi.
Kultur yang lain adalah pebulu tangkis di Amerika ini tidak hanya fokus di dunia bulu tangkis. Mereka juga kuliah karena tidak ada yang menjamin masa depan sebagai atlet. Akibatnya, ketika saya menetapkan waktu latihan, katakanlah sehari ada sesi pagi dan siang, ada hari-hari tertentu si pemain izin karena ada jadwal kuliah. Konsekuensinya bagi saya, saya harus mengganti jadwal yang hilang itu.