Syarat Perjalanan Diskriminatif, Udara Dipersulit dengan PCR, Darat-Laut Justru Cuma Antigen

- Jumat, 30 Juli 2021 | 10:05 WIB
Penggunaan rapid test antigen tidak lagi diperkenankan bagi masyarakat yang ingin menggunakan moda transportasi udara. Melainkan diwajibkan mengantongi hasil negatif Covid-19 dari rapid test polymerase chain reaction (RT-PCR).
Penggunaan rapid test antigen tidak lagi diperkenankan bagi masyarakat yang ingin menggunakan moda transportasi udara. Melainkan diwajibkan mengantongi hasil negatif Covid-19 dari rapid test polymerase chain reaction (RT-PCR).

BALIKPAPAN-Pemerintah dinilai diskriminatif dan tidak konsisten menerapkan kebijakan syarat perjalanan di masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4. Sebab, penggunaan rapid test antigen tidak lagi diperkenankan bagi masyarakat yang ingin menggunakan moda transportasi udara. Melainkan diwajibkan mengantongi hasil negatif Covid-19 dari rapid test polymerase chain reaction (RT-PCR).

Sementara rapid test antigen masih dipergunakan bagi moda transportasi laut dan darat. Padahal, rapid test antigen justru menjadi acuan untuk testing Covid-19. Kritik itu disampaikan pengamat penerbangan Alvin Lie. Dia membandingkan syarat moda transportasi laut dan darat yang lebih longgar. “Kenapa hanya penerbangan? Darat dan laut masih dibolehkan antigen. Kenapa antigen tidak diakui? Padahal menjadi standar pemerintah untuk testing,” ungkapnya kepada Kaltim Post kemarin (28/7).

Dia melanjutkan, kalau memang rapid test antigen tidak diakui pemerintah sebagai syarat perjalanan udara, pemerintah tidak boleh memasukkan antigen untuk testing. Namun, faktanya, rapid test antigen jadi acuan dalam melacak atau tracing masyarakat yang terpapar virus corona. “Makanya, kalau antigen masih diakui sebagai testing, harusnya syarat perjalanan udara juga boleh antigen,” tuturnya.

Alvin menyimpulkan, selama pelaksanaan PPKM Level 4 yang akan berakhir 2 Agustus 2021 nanti, masyarakat dicegah bepergian menggunakan pesawat terbang. RT-PCR memerlukan waktu pemeriksaan yang relatif lama. Hasilnya dapat diketahui paling cepat enam jam. Lebih lama dari hasil rapid test antigen yang bisa diketahui kurang dari satu jam. Akibatnya, bagi masyarakat yang memiliki kepentingan mendadak tidak bisa menggunakan moda transportasi udara.

“Dan biayanya juga relatif mahal, berkisar Rp 700-800 ribu, sehingga lebih mahal dari harga tiketnya. Terutama penerbangan di bawah dua jam. Yang harga tiketnya di bawah Rp 1 juta,” sebutnya. Dengan demikian, jika rapid test antigen tidak diakui untuk syarat penerbangan udara, Alvin meminta sebaiknya pemerintah menghapusnya sebagai testing. Lalu diseragamkan jika RT-PCR sebagai syarat perjalanan untuk moda transportasi laut dan darat juga.

“Kalau memang antigen tidak diakui pemerintah, ya dihapus saja. Tidak usah pakai antigen. Semua pakai PCR. Kalau antigen masih diakui pemerintah, seharusnya udara harus bisa antigen,” kata Alvin.

Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyanto juga mengkritik kebijakan tersebut. Menurutnya, tidak semua wilayah memiliki laboratorium tes RT-PCR, sehingga perlu pertimbangan tes pengganti. Seperti tetap membolehkan rapid test antigen sebagai syarat perjalanan. “Banyaknya persyaratan penerbangan di masa pandemi ini perlu dimaklumi. Dengan harapan mampu memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Namun, banyaknya persyaratan juga perlu dikritisi. Termasuk syarat vaksinasi untuk calon penumpang penerbangan,” katanya.

Dia beralasan, saat ini hanya Bali dan Jakarta yang tingkat vaksinasinya di atas 75 persen. Adapun daerah lain belum, termasuk Kaltim. Belum lagi, masih ada daerah yang akses mendapatkan vaksinasi terbilang susah. “Sebaiknya pihak bandara, PT Angkasa Pura atau maskapai memfasilitasi ketersediaan vaksin gratis,” pesan Agus. Sementara itu, General Manager Bandara SAMS Sepinggan Barata Singgih Riwahono mengatakan, syarat masuk ke Balikpapan melalui Bandara SAMS Sepinggan tetap mengacu ketentuan yang diterbitkan Satgas Penanganan Covid-19.

Setiap calon penumpang wajib memiliki RT-PCR. “Pemerintah mengeluarkan kebijakan itu untuk membatasi pergerakan masyarakat. Makanya, kalau tidak penting-penting sebaiknya jangan berangkat,” katanya.

Mahalnya biaya bepergian dengan transportasi udara diharap disikapi masyarakat agar lebih selektif lagi. “Sekarang naik pesawat itu mahal. Karena persyaratan kesehatannya itu. Dan mohon jadi bahan pertimbangan. Kalau tidak urgen, sebaiknya tidak melakukan perjalanan,” ucapnya.

Menurutnya, penerapan kebijakan yang lebih ketat ini, memberikan dampak yang cukup besar pula pada industri penerbangan. Di mana, tingkat keterisian penumpangan pesawat terbang menurun drastis. Membuat pengelola bandara maupun maskapai penerbangan berhemat dalam menjalankan kegiatan operasionalnya. “Tapi kami harus mengikuti kebijakan yang berlaku secara nasional ini,” ungkap Barata. (kip/riz/k16)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X