Hingga tahun ke-7, total dana desa (DD) yang tersebar di 841 desa di tujuh kabupaten di Kaltim sekitar Rp 4,914 triliun. Termasuk yang digelontorkan tahun ini sebesar Rp 939 miliar.
PENAJAM – Angka-angka penyaluran DD tersebut diutarakan Asisten Pemerintahan dan Kesra Sekprov Kaltim Mohammad Jauhar Effendi kepada Kaltim Post, Rabu (21/7). Ini sebagai tanggapan atas munculnya wacana membubarkan atau meninjau ulang Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD).
Menurut Jauhar, jika disebut P3MD di bawah Kementerian Desa tak punya payung hukum. “Tentu, pernyataan tersebut saya pandang tidak tepat dan menyesatkan, karena bisa menggiring sebuah opini, bahwa selama 7 tahun pemerintah pusat dianggap melanggar dan menyalahi aturan,” kata Jauhar.
Dampak dari pernyataan bahwa P3MD tak punya payung hukum bukan hanya kepada Kaltim, tapi juga dirasakan oleh 33 provinsi di Indonesia (minus Provinsi DKI Jakarta) dan 74.961 desa di Indonesia.
Melalui pernyataan tertulis Mohammad Jauhar Effendi, mantan camat Babulu dan camat Penajam, Penajam Paser Utara (PPU) 1997–1999 itu mengungkapkan, pendamping profesional (atau yang lebih dikenal dengan pendamping desa) hadir, seiring adanya kebijakan diluncurkannya DD.
Agar penggunaan DD tepat sasaran, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) punya program, namanya P3MD. Jadi posisi pendamping desa/pendamping profesional adalah bagian dari P3MD.
Untuk diketahui, lanjut dia, sebenarnya jumlah kuota pendamping profesional di Kaltim 478 orang. Namun, hingga kini yang terisi hanya 362 orang. Ada kekosongan 116 orang. Penyebab kekosongan tersebut sangat beragam. Ada yang lolos menjadi anggota KPU, ada yang lolos menjadi PNS, juga terpilih menjadi kepala desa.
Bahkan, mantan pendamping/fasilitator Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan di Kaltim (sebelum ada DD), ada yang terpilih menjadi anggota DPRD. Itu artinya kapasitas dan kualitas pendamping desa cukup diakui, karena mampu bersaing dengan kompetitor yang lain.
“Selama 8 tahun saya jadi kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kaltim, diperoleh informasi PDTI (Pendamping Desa Teknik Infrastruktur) yang ditempatkan di wilayah kecamatan, tidak pernah terpenuhi, karena sulitnya mencari Sarjana Teknik Sipil yang mau ditempatkan di wilayah kecamatan, terutama yang jauh dari ibu kota kabupaten, dengan gaji dan fasilitas yang terbatas,” jelasnya.
Tugas mereka pun cukup berat. Jauhar mencontohkan, melalui musyawarah desa (musdes) diputuskan salah satu penggunaan DD digunakan untuk membiayai pembangunan jembatan desa, sehingga tugas PDTI adalah membantu pemerintah desa (pemdes) membuatkan desain dan menghitung kekuatan konstruksi jembatan serta membantu pembuatan rencana anggaran biaya (RAB).
Begitu juga pendamping desa yang lain. Tugasnya cukup banyak dan beragam. Ada kalanya membantu proses penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), membantu pembentukan dan pengembangan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes).
Selain itu, membantu penanganan program stunting, yaitu masalah kurang gizi kronis yang disebabkan kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak, di mana tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usia yang seharusnya. Banyak aspek yang harus dilakukan untuk penanganan dan pencegahan stunting.
Jadi, menurut dia, tidak masuk akal kalau ada yang berpendapat bahwa tugas pendamping desa hanya meng-SPJ-kan. Itu hanya bagian kecil dari tugas pendamping desa, yaitu melaporkan penggunaan DD. Begitu juga tidak benar cara kerja pendamping desa seperti robot.