Soal Serangan Siber Terhadap Microsoft, AS dan Sekutu Kutuk Manuver Tiongkok

- Kamis, 22 Juli 2021 | 11:01 WIB

WASHINGTON DC– Pemerintah Amerika Serikat sudah melayangkan tuduhan berat terhadap Tiongkok. Negeri tirai bambu itu dilaporkan sudah menyokong kelompok peretas untuk menyusup ke sistem raksasa teknologi Microsoft. Namun, mereka masih belum memberikan sanksi terhadap tindakan tersebut.

Senin lalu (19/7), Presiden AS Joe Biden mengumumkan temuan mereka mengenai peretasan sistem surat elektronik (surel) alias email Microsoft awal tahun ini. Serangan tersebut dilakukan oleh kelompok bernama Hafnium, berdasar informasi Microsoft's Threat Intelligence Centre. Mereka memanfaatkan celah sistem yang sedang dalam proses diperbaiki oleh Microsoft.

Kelompok tersebut lantas menyebarkan informasi tersebut kepada kelompok peretas Tiongkok lainnya. Aksi tersebut diakui berdampak terhadap setidaknya 30 ribu lembaga di tingkat global. ’’Serangan ini memang tak dilakukan langsung oleh pemerintah Tiongkok. Namun, mereka melindungi dan bahkan mengakomodasi kelompok-kelompok tersebut,’’ ujar Biden seperti dilansir oleh BBC.

Biden menegaskan bahwa AS mengecam serangan siber yang mengancam keamanan nasional bahkan dunia. Kecaman itu disusul oleh sekutu AS lainnya seperti Inggris, Australia dan Selandia Baru. Bahkan, organisasi internasional seperti NATO dan Uni Eropa ikut mengutuk Tiongkok.

Namun, pakar keamanan internasional merasa ada yang kurang dari pengumuman AS kali ini. Mereka penasaran mengapa Biden tak mengungkap sanksi kepada Beijing. ’’Kurangnya sanksi bisa jadi masalah. Mana mungkin Tiongkok berhenti (meretas, Red) hanya karena peringatan saja,’’ ungkap Adam Segal, pakar keamanan siber di Council on Foreign Relations kepada CNN.

Wajar jika pengamat merasa aneh. AS bukanlah negara yang menganggap enteng soal keamanan siber. April lalu, mereka melaporkan kampanye spionase di SolarWinds, raksasa IT yang menangani sistem informasi banyak perusahaan, oleh badan intelijen Rusia. Bersama laporan itu, mereka juga mengumumkan sanksi untuk perusahaan keuangan dan teknologi Rusia. 10 diplomat Rusia pun didepak dari Kedutaan Rusia di Washington.

Ketika ditanya, Jubir Gedung Putih AS Jen Psaki mengelak. Dia mengatakan tidak membedakan siapa pun yang telah mengancam keamanan digital di negeri paman sam. Opsi sanksi masih dibicarakan di lingkaran Biden. ’’Perlu diketahu bahwa ini bukan akhir dari tindakan kami terhadap aktivitas siber oleh Tiongkok ataupun Rusia,’’ jelasnya.

Di sisi lain, pejabat AS yang tak mau disebut namanya mengatakan, realita Tiongkok berbeda dengan Rusia. Hubungan dagang AS memang lebih dekat dengan pemerintahan Xi Jinping daripada pemerintahan Vladimir Putin. Karena itu, pengumuman tanpa sanksi merupakan cara AS untuk mencari tahu berapa banyak dukungan yang mereka bisa kumpulkan.

Biasanya, negara seperti Jerman dan Italia menghindari kecaman terhadap Tiongkok. Faktornya juga karena hubungan ekonomi. Jepang, sekutu AS di Asia, juga sering lepas tangan karena perdagangan bilateral yang kuat. Namun, kecaman dari Uni Eropa dan NATO jelas menjadi salah satu tanda baik bagi AS. Itu berarti, Jerman dan Italia sudah menganggap manuver Tiongkok keterlaluan. ’’Ini bukan sekedar keputusan. Tapi awal dari kampanye internasional jangka panjang dan sanksi hanyalah salah satu alat,’’ ujar Christopher Painter, mantan pejabat cybersecurity AS.

Pihak Tiongkok sendiri menolak tudingan AS. Kedutaan Tiongkok di Wellington, Selandia Baru, angkat bicara atas dukungan negeri kiwi terhadap AS. Mereka mengatakan bahwa tudingan tersebut ngawur dan tanpa dasar. ’’Kami adalah pendukung terbesar keamanan siber di dunia. Justru, AS merupakan rajanya serangan siber,’’ tegasnya.

Selain isu peretasan Microsoft, dunia dikagetkan dengan laporan mengenai praktik pemerintahan menggunakan spyware, aplikasi penyadap ponsel, untuk keuntungan politik. Produk yang dibuat oleh perusahaan NSO dari Israel itu dijual ke militer, aparat, dan intel untuk kepentingan melawan pelaku kriminal dan teroris.

Namun, laporan dari Meksiko menggambarkan situasi yang terbalik. Menurut The Guardian, pemerintah Meksiko di era presiden Enrique Peña Nieto menggunakan Pegasus, nama aplikasi tersebut, untuk menyadap 15 ribu nomor. Mayoritas yang disadap adalah lawan politik.

Yang paling mengagetkan, pemerintah Meksiko sempat memata-matai Andrés Manuel López Obrador, presiden Meksiko saat ini. Itu terjadi pada periode 2016-2017. Saat itu, Amlo, panggilan akrab Lopez, masih menjadi pemimpin oposisi. Sekitar 50 orang di lingkaran tokoh politik itu disadap. Bukan hanya istri dan anak, bahkan dokter pribadi Amlo pun disadap. ’’Target utamanya tentu kandidat (Amlo). Sedangkan saya hanya sebuah alat,’’ ungkap Patricio Heriberto Ortíz Fernández, dokter jantung Amlo. (bil/bay)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X