Kasus Positif Turun Hampir 40 Persen, Pemerintah Bisa Tentukan Kriteria Pelonggaran

- Rabu, 21 Juli 2021 | 10:56 WIB
ilustrasi
ilustrasi

JAKARTA- Pertambahan 56.757 kasus positif harian pada tanggal 15 Juli 2021 lalu nampaknya merupakan puncak tertinggi dari gelombang pandemi Indonesia periode Juni-Juli. Beberapa hari belakangan, tren kasus mengalami penurunan.

Setelah tanggal 15 Juni, kasus menurun 54.000 pada 16 Juli, 51.952 kasus pada 17 Juli, 44.721 kasus pada 18 Juli serta penurunan terendah terjadi Senin (19/7) dengan 34.257 kasus saja. Menurun hampir 40 persen dari tren pertambahan kasus tertinggi.

Jumlah kesembuhan pun terpaut tipis dengan total 32.217 kasus kemarin. Namun demikian, angka kasus kematian juga memecahkan rekor tertinggi kemarin dengan 1.338 nyawa melayang.

Meski mulai menurun, tingkat positivity rate di Indonesia masih cukup tinggi. Yakni berada pada angka 32,37 persen positivity rate rerata harian dan 30,07 persen rerata mingguan. Berdasar data Kemenkes tanggal 18 Juli pukul 12.00 WIB. Tingginya angka positivity rate ini menunjukkan masih pesatnya penularan di masyarakat (community transmission)

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Mantan Direktur WHO Asia Tenggara Prof. Tjandra Yoga Aditama mengungkapkan bahwa pemerintah bisa menetapkan kriteria kebijakan pelonggaran dalam evaluasi PPKM dengan 3 indikator utama yang sudah menjadi patokan selama ini. Yakni epidemiologi, sistem pengawasan (surveillance) dan sistem pelayanan kesehatan.

Yoga mengatakan, dalam hal epidemiologi, setidaknya ada 2 parameter yang bisa dipilih, yaitu jumlah kasus baru dan juga angka kepositifan (positivity rate). “Misalnya pertumbuhan kasus sudah dibawah 10.000 per ari. Kemudian positivity rate sudah setara atau dibawah 5 persen,” jelas Yoga kemarin (19/7)

Sebagai ilustrasi saja, kata Yoga, Malaysia juga menerapkan kebijakan “Movement Control Order (MCO)” yang menggunakan patokan bahwa kalau kasus baru per hari di bawah 4.000 maka kebijakan dapat dilonggarkan. Untuk angka kepositifan, sebaiknya dipakai patokan 5 persen agar menjamin penularan di masyarakat memang sudah rendah. ”Apalagi banyak negara tetangga kita (dan juga India) angkanya memang 2 persen atau 3 persen saja, kecuali negara tertentu,” jelasnya.

Kemudian kriteria surveilans kesehatan masyarakat, ada dua hal yang harus dicapai. Pertama jumlah tes yang dilakukan harus terus dinaikkan dengan amat tinggi, dan kedua kegiatan dilanjutkan dengan telusur yang massif.

Yoga mencontohkan India sudah berhasil melakukan tes pada sekitar 2 juta per hari. Maka dengan penduduk kita yang sekitar seperempat penduduk India maka target melakukan tes sampai 500 ribu sehari nampaknya patut dikejar untuk dicapai. Sesudah itu, untuk setiap kasus positif, bisa diberikan patokan berapa target yang harus ditelusuri.

”Katakanlah antara 15-30 kontak yang harus ditemukan. Kalau diantara mereka ada yang ternyata positif COVID-19 maka harus ditelusuri lagi 15-30 kontaknya lagi, dan demikian seterusnya,” jelasnya.

Penelusuran kontak yang masif kata Tjandra penting agar orang yang terinfeksi segera bisa di karantina untuk memutuskan penularan. Memang dengan jumlah tes yang besar dan akan ditemukan kasus yang lebih banyak, tapi ini membuat kita mendapatkan gambaran yang sebenarnya terjadi dan dapat mengambil langkah tepat mengendalikan keadaan.

”Kalau masih banyak kasus baru di masyarakat yang tidak ditemukan maka penularan masih akan terus terjadi, tidak kunjung terkendali dan masih akan terus diperlukan pembatasan sosial yang ketat,” katanya.

Untuk kriteria kapasitas sistem pelayanan kesehatan, bisa dilihat dari keterisian tempat tidur (Bed Occupancy Rate : BOR) di rumah sakit. Dalam hal ini harus diingat bahwa angka BOR bisa dapat fluktuatif, tergantung berapa banyak tempat tidur yang diperuntukkan untuk pasien COVID-19, sehingga kadang-kadang membaca angka BOR perlu secara kritis.

”Selama hari-hari tingginya pasien COVID-19 sekarang ini maka bukan hanya ruang rawat rumah sakit yang penuh tapi Instalasi Gawat Darurat (IGD) nya juga penuh dan orang terpaksa antri masuk IGD, bukan lagi antri masuk RS,” katanya.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Indonesia Aman dari Efek Gelombang Panas

Jumat, 3 Mei 2024 | 10:30 WIB
X