Bambang Iswanto
Dosen UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda
DALAM Islam, sebuah ibadah sering terkait dengan ritual khusus yang harus dilaksanakan karena memang dalil memberi petunjuk seperti itu. Salat misalnya, ada ritual rukun yang harus dijalankan seperti berdiri bagi yang mampu, berniat, takbiratul ihram, membaca Al-Fatihah, dan seterusnya.
Puasa juga demikian, harus menahan masuknya makanan dan minuman ke tenggorokan, menahan berhubungan badan dari fajar sampai terbenam matahari. Ditambah dengan ritual sunah penyertanya seperti sahur dan lain-lain.
Ternyata banyak makna dan dimensi sosial selain rukun-rukun yang terlihat dalam ibadah. Telah melaksanakan ritual yang diwakili oleh rukun-rukun dan prosesnya bukanlah akhir dari sebuah ibadah. Maka, ketika Allah memberi perintah, manusia hendaknya mencari tahu makna selain rukun-rukun dan proses.
Orang yang melaksanakan ibadah dan perintah Allah, sering tidak diiringi dengan pemaknaan di balik perintah tersebut dan mencoba menghubungkannya dengan petunjuk-petunjuk lain seperti Al-Qur’an, hadis, ijmak, qiyas, dan dalil-dalil otoritatif lainnya.
Bagi orang seperti ini, salat itu yang penting melaksanakan rukun-rukun saja, tanpa perlu menghubungkan dengan dalil lain yang harus memaknai salat sebagai pencegah perbuatan terlarang, mungkar, dan bisa menjadi media untuk selalu terpaut kepada Allah (zikir).
Demikian pula tentang puasa. Dalam pemahaman mereka, puasa yang penting tidak makan minum dan tidak berhubungan dalam waktu yang telah ditentukan. Tidak penting ada makna lain yang harus dipahami selain menahan hal yang membatalkan. Padahal banyak dalil yang menjelaskan tentang makna dan hakikat puasa yang lebih dari sekadar menahan rasa lapar dan haus.
Salah satu ibadah yang sering dilalaikan pemaknaannya adalah ibadah kurban. Ibadah kurban dalam Islam, tidak dimaknai sebagai ibadah yang berdimensi ritual saja. Jika dimaknai demikian, ibadah ini hanya berhenti dengan menyembelih hewan ternak untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT (yang dimulai) pada hari Id sampai akhir hari tasyrik. Lalu daging dibagi-bagikan, setelah itu lenyap tanpa memberi bekas apapun seiring hilangnya bau darah yang mengalir dari leher hewan sembelihan.
TAFSIR ULANG KURBAN
Kurban harus dibaca dan dimaknai sebagai sarana membuka kesadaran sosial. Sebab, pemaknaan yang hanya secara literal dan dogmatis, akan mendegradasikan makna kurban. Dan tidak mendorong spirit muslim untuk senantiasa berkurban.
Dalam kajian hermeneutika, perintah kurban dalam QS Al-Kautsar Ayat 1-2 tidak dilihat sebatas makna harfiah, tetapi dihubungkan dengan kondisi ketika perintah diturunkan. Baik dari aspek setting personal maupun setting sosio-kultur.