Angka Kematian Tinggi, Isoman Tak Terkendali

- Jumat, 9 Juli 2021 | 12:57 WIB
MAKIN PADAT: Kompleks makam khusus Covid-19 di TPU Pondok Ranggon, di Jakarta, Minggu (18/10/2020). (Dery Ridwansah/JawaPos.com)
MAKIN PADAT: Kompleks makam khusus Covid-19 di TPU Pondok Ranggon, di Jakarta, Minggu (18/10/2020). (Dery Ridwansah/JawaPos.com)

JAKARTA- Tingginya angka kematian akibat Covid-19 beberapa hari terakhir disinyalir karena tidak teraturnya mekanisme Isolasi mandiri. Versi pemerintah, warga yang kurang aktif melapor ke fasyankes. Namun nyatanya, ada juga fasilitas kesehatan yang lamban merespon.

Dari data website Laporcovid19.org yang diambil Kamis malam (8/7), diketahui ada 369 orang terkonfirmasi Covid-19 yang meninggal di luar rumah sakit. Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa tempat isolasi terpadu terus diperbanyak. Upaya untuk mengawasi kenaikan harga obat dan oksigen juga terus dilakukan.

Menurut versi Satgas Nasional Penanganan Covid-19, banyak masyarakat yang melakukan isolasi mandiri (Isoman) secara serampangan tanpa petunjuk dokter. Keluarga yang merawat pun akhirnya juga tertular. “Isoman yang kebablasan. Keluarga juga kurang peduli tentang perjalanan penyakit,” jelas Kepala Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Penanganan COVID-19 Brigjen TNI (Purn) dr Alexander K Ginting pada Jawa Pos (8/7)

Ginting menyebut, bahwa banyak pasien positif Covid-19 yang tidak pergi ke puskesmas maupun fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes). Hanya mengandalkan hasil lab PCR atau rapid tes antigen kemudian langsung melakukan isolasi mandiri. ”Harus-nya berobat, apalagi jika ada komorbid. Itu juga harus diobati,” jelasnya.

Menurut Ginting, pendampingan tenaga medis sangat krusial bahkan saat gejala masih ringan. Tidak bisa, kata dia mengandalkan semata hasil tes untuk menentukan kondisi medis yang sebenarnya. Tim Lab PCR juga buka tim medis sehingga pasien positif belum mendapatkan obat pendukung.

Banyak pasien kata Ginting tidak mengenali gejala Covid-19 dan tentu saja tidak mampu mendeteksi adanya komorbid yang dimiliki. ”Dianggap biasa-biasa saja seperti masuk angin flu. Setelah sesak dan demam tinggi baru tetangga dan RT di lapor, lalu baru di bawa ke Rumah Sakit,” jelasnya. Padahal, tingkat keparahan penyakit baru bisa dilihat dari pemeriksaan fisik, sampel darah, maupun foto thorax jika ada gejala sesak. Begitu positif, seharusnya pasien langsung ke dokter di klinik maupun puskesmas setempat.

“Tapi orang itu kadang malu kena stigma. Setelah sesak dan demam tinggi, baru dibawa ke UGD. Padahal yang mengobati penyakit itu kan arahan dokter. Bukan dengan mengacu arahan sosmed , influencer, artis, toma, toga, politisi atau saudagar kan?” kata Ginting.

Pelayanan isoman di tingkat bawah nyatanya tak seragam. Di daerah Tulangan, Sidoarjo misalnya. Tracking tak dilakukan langsung ke rumah warga yang terpapar. Hanya melalui pesan singkat untuk verifikasi nama dan sedikit pertanyaan mengenai keluhan yang dialami.

Seperti yang dialami oleh keluarga Mokh. Sam’un. Pelaporan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama dilakukan ketika mengetahui dua orang anggota keluarga positif Covid-19. Harapannya, ada tracing lanjutan yang dilakukan untuk anggota keluarga dan orang-orang yang sebelumnya bertemu.

”Sebelumnya semua anggota keluarga sudah antigen. Awalnya, hanya saya. Tapi ketika istri dua hari kemudian muncul gejala dan tes lagi positif, khawatir anak-anak juga,” paparnya.

Nyatanya, tak ada tracing yang dilakukan. kedua buah hatinya justru diminta untuk langsung datang ke puskesmas untuk diswab antigen. Itu pun, di sana tak ada pemeriksaan khusus mengenai kondisi mereka. ”Hanya antigen,” katanya.

Setelahnya, hasil pun tak langsung diberikan. Pihak puskesmas menjanjikan diantarkan ke rumah bersama obat. Sayangnya, janji tinggal janji. Hasil datang tanpa obat-obatan sama sekali.

”Sempat diantar obat, sekali. Waktu pelaporan awal. Hanya untuk istri,” ungkapnya. Karena saat itu, lanjut dia, dirinya sudah mendapat penanganan dari salah satu rumah sakit terdekat. Itupun obat yang diberikan hanya berupa azithromycin lima butir, paracetamol satu strip, dan vitamin C 50 mg 10 tablet. ”Padahal saat sakit boosternya harus tinggi,” sambungnya.

Setelah itu pun, tak ada pertanyaan berkala dari puskesmas mengenai keadaan para isoman. Sejak awal pun, kata dia, sebetulnya tak ada penjelasan detail mengenai ketentuan isoman seperti apa. apa saja yang harus disiapkan hingga kondisi seperti apa saja yang harus diwaspadai ketika isoman berlangsung. Semua akhirnya dipelajari sendiri. beruntungnya, ada kerabat yang memang seorang dokter, lalu ada aplikasi halodoc yang sangat membantu untuk mendapatkan sejumlah obat.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X