Selama setengah abad berdiri, sang pemilik tidak mau membuka cabang di tempat lain dan mempertahankan tradisi menggunakan kayu bakar untuk memasak kuah kaldu coto. Konsepnya: usaha lahir batin.
Agus Dwi Prasetyo, Makassar, Jawa Pos
SORE itu beberapa orang duduk berhadapan di salah satu meja panjang di rumah makan Aroma Coto Gagak. Mereka mengenakan atasan batik yang sama. Dari kejauhan, suara lantunan ayat suci Alquran terdengar. Sementara di meja lain, beberapa pengunjung tengah asyik menyantap hidangan coto daging sambil mengobrol ngalor-ngidul. Keriuhan itu berbaur menjadi satu.
”Setiap sore mereka ngaji sebelum mulai aktivitas,” kata H Jamaluddin Daeng Nassa sambil menunjuk beberapa orang yang duduk di meja tersebut pada Senin pekan lalu (14/6) itu.
Orang-orang yang mengaji itu adalah pegawai rumah makan Aroma Coto Gagak. Nassa adalah pemilik rumah makan yang berada di Jalan Gagak No 27, Makassar, tersebut.
Sambil bercakap dengan Jawa Pos, pria yang mengenakan sarung dan peci hitam itu memperlihatkan ”dapur” Aroma Coto Gagak yang legendaris. Yang buka 24 jam itu. Yang berdiri sejak 1970-an atau setengah abad lalu. Yang tidak mau membuka cabang di tempat lain. Dan, yang mempertahankan tradisi menggunakan kayu bakar untuk memasak kuah kaldu coto itu.
Di antara sekian banyak kekhasan coto gagak, tadarusan itu paling menyita perhatian. Kegiatan membaca Alquran tersebut dilakukan selama 1 sampai 1,5 jam sekali waktu. Pegawai muslim wajib ikut.
Satu pegawai umumnya bisa menyelesaikan satu juz. Pegawai lain melanjutkan bacaan ke juz berikutnya di pagi keesokan harinya.
”Kalau pagi, mulainya pukul 08.00 sampai pukul 09.00. Kalau sore, mulai pukul 16.00 sampai pukul 16.30,” kata Nassa kepada Jawa Pos pada Senin lalu (14/6).
Sejak 2019, rutinitas tersebut dilakukan setiap hari tanpa jeda. Meski demikian, tadarusan itu sama sekali tidak mengganggu pelayanan. Sebab, pegawai nonmuslim langsung mem-back up tanpa diperintah.
Di rumah makan tersebut, 40 persen di antara 50 karyawan (terbagi dalam tiga sif) merupakan nonmuslim. Sistem backup semacam itu juga berlaku ketika pegawai muslim, khususnya laki-laki, pergi ke masjid untuk menunaikan salat berjamaah.
Konsep usaha lahir batin. Begitu kata Nassa saat ditanya alasan menerapkan model rotasi kepegawaian tersebut. Dia meyakini setiap usaha akan lancar dan berkelanjutan jika dijalankan dengan model kerja syariah semacam itu. ”Dulu ada rutinitas salat Tahajud. Tapi, karena banyak karyawan yang rumahnya jauh, jadi sudah jarang sekarang,” ujar pria 71 tahun tersebut.