JAKARTA– Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) melaporkan bahwa ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) sepanjang April mencapai 2,636 juta ton. Itu berarti turun 595 ribu ton atau 18 persen dari ekspor Maret sebesar 3,232 juta ton. Penurunan tersebut dipicu produksi minyak sawit yang stagnan.
Data Gapki menunjukkan, produksi CPO April mencapai 4.097 ribu ton. Pada bulan sebelumnya, produksi tercatat 4.020 ribu ton. Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono menyebut penurunan itu sesuai dengan siklus tanaman. Periode Mei–November nanti, dia optimistis produktivitasnya meningkat.
”Oleh sebab itu, produktivitas harus tetap dijaga untuk memanfaatkan momentum produksi dan harga yang diperkirakan masih tinggi,” ujarnya (15/6).
Mengenai CPO, Mukti membeberkan bahwa harga rata-ratanya per April berkisar USD 1.157 per cif Roterdam. Itu lebih tinggi ketimbang harga Maret. ”Harga yang tinggi ini didongkrak oleh harga minyak nabati India yang sangat tinggi. Bersamaan dengan itu, produksi sawit Malaysia masih terkendala karena kurangnya tenaga kerja,” bebernya.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menegaskan bahwa industri sawit merupakan industri yang strategis bagi perekonomian nasional. Industri sawit juga mampu membangun ketahanan pangan dan kedaulatan energi. Saat ini industri tersebut juga terus didorong untuk mengembangkan hilirisasi. Tujuannya adalah mendongkrak peningkatan kegiatan perekonomian dalam negeri.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Kemendag Kasan Muhri mengungkapkan bahwa sawit memainkan peran penting dalam neraca dagang. Tepatnya, sebagai komoditas nonmigas. Kontribusi ekspor tersebut berkesinambungan karena diversifikasi produk turunan.
’’Dalam beberapa kesempatan, kami sampaikan bahwa minyak sawit dan turunannya itu kontributor terbesar ekspor nonmigas. Syukurnya, ada 70 persen lebih produk turunan yang diekspor,” ujarnya. (agf/c6/hep)