JAKARTA, Jawa Pos – Pemerintah berupaya mengakselerasi pengembangan industri alat kesehatan (alkes) dalam negeri. Sebab, produsen dalam negeri punya kapasitas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, dari 358 jenis alkes buatan dalam negeri, sebanyak 79 jenis sudah mampu menyubstitusi produk impor.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan bahwa sektor farmasi punya potensi bisnis setara Rp 607,7 triliun. Itu merupakan peluang yang masih bisa dioptimalkan. Pemerintah pun mengupayakan supaya 79 produk alkes tersebut menjadi prioritas dalam belanja APBN di bidang kesehatan.
”Beberapa produk di antaranya telah memiliki nilai TKDN (tingkat komponen dalam negeri, Red) di atas 40 persen. Yang artinya produk dalam negeri tersebut wajib dibeli dan produk impor dilarang,” ujar Agus kemarin (15/6).
Dalam Rencana Strategis Kementerian Perindustrian 2020–2024, target rata-rata TKDN pada 2024 adalah 53 persen. Itu meningkat dari baseline 2020 yang berada pada kisaran 49 persen. Artinya, target kenaikannya sekitar 2 persen per tahun. Bagi alkes dalam negeri yang nilai TKDN-nya masih kecil, pemerintah akan memfasilitasinya dengan sertifikasi gratis. Fasilitas itu akan diberikan untuk sekurang-kurangnya 9.000 produk pada tahun ini.
Menurut Agus, penghitungan TKDN pada sektor farmasi sudah berubah. Yang semula metode cost based, kini menjadi processed based. ”Setelah adanya perubahan tersebut, ternyata ada kenaikan nilai TKDN rata-rata sekitar 15 persen,” ungkapnya.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan banyaknya kendala yang menghambat pertumbuhan industri alkes. Di antaranya adalah rentang jenis alkes produksi dalam negeri yang sangat luas. Mulai alkes sederhana sampai yang berteknologi tinggi. Selain itu, bahan bakunya sangat beragam.
Bahan baku dengan spesifikasi medical grade, menurut Budi, belum banyak tersedia di dalam negeri. ”Penguasaan teknologi alat kesehatan juga masih terbatas dan masih perlu dikembangkan. Khususnya untuk teknologi menengah sampai tinggi. Kendala lain adalah produk impor yang membanjiri Indonesia,” ujarnya. (agf/c9/hep)