Pembuatan film penyabet delapan Piala Citra ini tak ubahnya proyek gotong royong: para pemain tak dibayar, bahkan turut mencarikan dana, dan sang sutradara harus rela menunda membangun rumah.
SHAFA NADIA-AGFI SAGITIAN, Jakarta, Jawa Pos
HARI-HARI itu diingat betul oleh Christine Hakim. Hari-hari ketika dia memilih menghindari mal, apalagi berlibur dan menginap di hotel.
”Karena Tjoet Nja’ Dhien melihat hutan, tanah, kegores kayu, sementara aku tidur nyaman di hotel, nggak sinkron mood-nya. Makanya, saya harus menanggalkan ego,” tuturnya.
Padahal, itu bukan hari-hari yang pendek. Berlangsung selama tiga tahun pembuatan film Tjoet Nja’ Dhien pada 1980-an. Christine berperan sebagai pahlawan Aceh itu dalam film garapan Eros Djarot tersebut.
Tantangan keaktoran itu hanya satu dari sederet aral yang menghadang produksi film tersebut. Problem utama tentu saja biaya.
Eros sampai rela menunda membangun rumah. Para pemain dan kru juga ikut membantu mencarikan dana.
”Mas Slamet ada honor dari kerjaan yang lain, dimasukin buat film,” ujar Eros merujuk kepada sang kakak, aktor Slamet Rahardjo, yang memerankan Teuku Umur di film yang digarapnya.
Tapi, kerja keras dan perjuangan itu sungguh sepadan dengan hasilnya. Tjoet Nja’ Dhien menjadi salah satu film terbaik Indonesia sepanjang masa.
Di Festival Film Indonesia 1988, Tjoet Nja’ Dhien merebut delapan Piala Citra, termasuk Film Terbaik. Tjoet Nja’ Dhien juga menjadi film pertama Indonesia yang ditayangkan di Festival Film Cannes, Prancis.
Setelah 33 tahun berlalu, film tersebut direstorasi ulang oleh salah satu lembaga di Belanda karena dianggap layak untuk dilestarikan. Tjoet Nja’ Dhien menjadi film kedua Indonesia yang direstorasi setelah Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail.
Eros menyebut biaya yang dikeluarkan demi memperbaiki dan menjaga kualitas gambar serta suara mencapai Rp 3 miliar. ”Kami sih nggak dapat duit sama sekali, tapi terima kasih sudah direstorasi supaya film ini tidak hilang,” imbuh Eros.