TANA PASER - Revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan Anak, yang pada pokoknya mengubah usia perkawinan anak-anak perempuan dari minimal 16 tahun menjadi minimal 19 tahun, sama dengan usia laki-laki, direspons positif.
Aturan ini didukung penuh Pemkab Paser melalui turunan peraturan bupati (perbup) tentang pencegahan dan penanganan perkawinan usia anak pada April 2021 lalu.
Bupati Paser dr Fahmi Fadli menginginkan setiap anak dijamin dan dilindungi tumbuh kembang dan keberlangsungan hidupnya. Serta memerintahkan kepada seluruh jajarannya hingga kepala desa dan tokoh masyarakat, agar membantu mencegah pernikahan anak di bawah usia 18 tahun.
"Termasuk tidak memberikan dukungan pada perkawinan anak, baik lisan maupun tertulis," kata bupati dalam isi perbup. Selain itu, dalam perbup tersebut, anak-anak didorong agar menyelesaikan wajib belajar 12 tahun atau sampai tamat SMA/sederajat lebih dulu.
Hal ini disambut baik Kementerian Agama hingga jajarannya seperti Kantor Urusan Agama (KUA). Kepala KUA Tanah Grogot Ishak mengatakan, di Kabupaten Paser masih banyak orangtua yang menginginkan anaknya menikah di bawah usia 18 tahun. Meskipun sudah ada revisi undang-undang yang melarang. Sebab, jika kondisinya darurat, mau tidak mau Pengadilan Agama meloloskannya. Meski banyak juga yang ditolak karena alasannya tidak kuat.
"Dengan adanya perbup tersebut, ini sangat membantu kami para penyuluh agama agar masyarakat bisa memahami tentang batas usia perkawinan," terang Ishak.
Diakuinya, secara ilmu fiqih, batas minimal pernikahan ialah saat perempuan sudah haid dan laki-laki pernah mimpi basah. Namun, jika masih di bawah 18 tahun, mental dan psikologisnya belum matang. Apalagi jika sang suami lebih muda daripada istri. Sementara masih banyak kultur di daerah yang membolehkan anaknya menikah di usia muda, atau setelah lulus SMA di kisaran usia masih 18 tahun.
"Mohon untuk tokoh masyarakat, tokoh agama, dan pejabat di desa membantu menyampaikan pentingnya undang-undang dan perbup tentang perkawinan ini," lanjut Ishak.
Pertimbangan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 terkait kenaikan batas umur yang lebih tinggi dari 16 (enam belas) tahun bagi perempuan untuk menikah antara lain bahwa perkawinan pada usia anak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak. Di antaranya, hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial anak.
Diharapkan, dengan perubahan usia tersebut, akan mengakibatkan laju kelahiran yang lebih rendah dan menurunkan risiko kematian ibu dan anak. Selain itu, terpenuhinya hak-hak anak, sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak termasuk pendampingan orangtua serta memberikan akses anak terhadap pendidikan setinggi mungkin. (jib/far/k16)