Kematian Anak Terpapar Covid-19 di RSCM Capai 40 Persen

- Senin, 7 Juni 2021 | 10:33 WIB
ilustrasi
ilustrasi

JAKARTA– Keganasan Covid-19 tak hanya mengancam orang dewasa. Risiko keparahan infeksi virus yang ditemukan pertama di Wuhan, Tiongkok ini juga dialami anak-anak. Terutama, mereka yang memiliki penyakit bawaan (komorbid).

Fakta tersebut diungkap hasil penelitian dari tim peneliti RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Dalam artikel yang dipublikasikan di International Journal of Infectious Diseases (IJID) ini, disampaikan bahwa 40 persen pasien anak yang terkonfirmasi Covid-19 di RSCM meninggal dunia. Penelitian ini sendiri dilakukan pada Maret-Oktober 2020.

Pada rentang waktu tersebut, sebetulnya ada 31.075 pasien dari segala usia yang datang ke UGD. Di mana, 1.373 pasien dikonfirmasi positif Covid-19. Sementara, untuk kasus anak tercatat 490 kasus yang dikategorikan sebagai suspect.

Salah satu peneliti Rismala Dewi mengatakan, setelahnya mereka dites PCR. Dari jumlah tersebut, 50 anak terkonfirmasi positif Covid-19. Di antara kasus anak yang dikonfirmasi ini, 20 pasien atau 40 persen diantaranya meninggal.

Merujuk dari penelitian tersebut, disebutkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat kematian antara laki-laki dan perempuan pada pasien anak positif Covid-19. ”Hanya empat pasien (meninggal, red) yang komorbidnya satau. 16 lainnya komorbidnya lebih dari satu,” ujarnya dalam temu media di Jakarta, (4/6).

Menurut dia, kebanyakan pasien tersebut mengalami gagal ginjal dan keganasan penyakit. Sehingga, pada penelitian ini belum bisa disimpulkan apakah anak-anak murni meninggal karena Covid-19 atau karena keparahan penyakit karena komorbid. Mengingat, sebagai rumah sakit tersier, pasien yang datang ke RSCM rata-rata datang dengan komorbid dan merupakan pasien kronis.

Selain itu, kata dia, penelitian dilakukan di awal pandemi Covid-19. Di aman, saat itu ada kondisi di mana ketakutan masyarakat terhadap Covid-19 membuat pasien yang biasa datang jadi menunda ke rumah sakit. Sehingga, ketika datang kondisi cukup berat. ”Tentu ini tidak bisa diekstrapolasikan yang di RSCM yang pusat rujukan dengan yang di daerah atau rumah sakit non tersier,” katanya.

Kendati begitu, menurut Dekan FKUI Prof Ari Syam, data ini bisa jadi warning. Bahwa, risiko keganasan infeksi Covid-19 pada anak juga besar. Terutama, bagi mereka yang komorbid.

Hal ini diamini Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dari Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Prof dr Menaldi Rasmin. Karenanya, dia meminta pemerintah benar-benar berhati-hati atas rencana pembelajaran tatap muka (PTM) yang akan diperluas Juli 2021 nanti.

Dia mengungkapkan, saat ini masih belum diketahui seberapa besar kejadian akibat mutasi varian baru. Hal ini patut dipertimbangkan ketika pemerintah menginginkan PTM terbatas. ”Kalau perkantoran, masih bisa karena mudah diatur. kalau anak-anak remaja perlu diperhatikan betul. karena sekolah itu dianggap juga pergi main,” paparnya.

Selain itu, perlu digaris bawahi, bahwa pada anak memang jarang ketangkap sakit Covid-19 kecuali memiliki komorbid. Namun, bila orang tua sakit maka harus dicurigai anak menjadi carrier. Karenanya, kalau masih ingin PTM harus diatur secara ketat. Terutama, untuk jenjang PAUD, TK, dan SD.

Terpisah, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriawan Salim menyatakan bahwa ada faktor risiko sangat besar jika sekolah dipaksa dibuka serentak pertengahan Juli nanti. Hal itu terkait dengan munculnya varian baru dan angka positivity rate di atas 10 persen di banyak daerah. "Tentu opsi memaksa membuka sekolah akan mengancam nyawa, keselamatan, dan masa depan siswa termasuk guru dan keluarganya," ucapnya.

Menurutnya, bagi P2G ada 2 indikator mutlak sekolah bisa dimulai tatap muka di Juli nanti. Pertama tuntasnya vaksinasi guru dan tenaga kependidikan. Kedua sekolah sudah memenuhi semua Daftar Periksa kesiapan sekolah tatap muka. "Dua hal ini tidak bisa ditawar-tawar" ungkap Satriawa.

Proses vaksinasi guru dan tenaga pendidikan semula ditargetkan oleh Mendikbud Nadiem Makarim rampung bulan Juni. Namun ini belum tercapai. "Kami dari awal mendapatkan laporan dari jaringan P2G daerah, vaksinasi guru tendik memang lambat di daerah-daerah," tuturnya.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X