Aturan Baru Verifikasi Parpol Tuai Kritik

- Rabu, 2 Juni 2021 | 14:33 WIB

JAKARTA– Proses verifikasi partai politik (parpol) peserta Pemilu 2024 akan berbeda. Sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55 Tahun 2021, parpol yang sudah lolos parlemen tak perlu lagi menjalani verifikasi, baik administrasi maupun faktual. Putusan itu ternyata dinilai janggal.

Menurut Yusril Ihza Mahendra, pakar hukum tata negara yang juga ketua umum Partai Bulan Bintang (PBB), putusan terbaru MK itu membingungkan. Dia mencatat, sudah tiga kali MK mengubah pendapatnya dalam norma yang sama terkait verifikasi partai peserta pemilu.

Pada awal-awal norma itu diuji, kata Yusril, MK menyebutnya open legal policy atau kebijakan hukum terbuka pembuat undang-undang. ’’Belakangan kesetaraan (putusan 2017), maka semua partai politik, baik lama maupun baru, harus verifikasi,’’ ujarnya dalam diskusi kemarin (1/6). Namun, tahun 2021, MK mengubah putusannya dengan dalil keadilan.

Dalam putusan nomor 55, MK menilai tidak adil jika parpol yang lolos parlemen diperlakukan sama dengan yang tidak lolos. Karena itu, ketentuan verifikasinya perlu dibedakan.

Yusril menilai dalil keadilan yang dijadikan pijakan oleh putusan terbaru itu tidak masuk akal. Di satu sisi, MK menilai parpol penghuni parlemen tidak bisa disamakan dengan parpol nonparlemen. Namun, di sisi lain, parpol peserta Pemilu 2019 nonparlemen diperlakukan sama dengan partai pendatang baru nanti. Yakni, sama-sama harus verifikasi penuh. ’’Kalau ada tiga kategori partai, tidak bisa satu sendiri, sedangkan kategori dua dan tiga dinyatakan sama,’’ imbuhnya.

Yusril berpendapat, dalil MK akan bisa diterima jika partai peserta Pemilu 2019 yang tidak lolos parlemen juga diperlakukan berbeda dengan partai baru nanti. Misalnya, parpol parlemen tidak perlu verifikasi apa pun, parpol nonparlemen cukup verifikasi administrasi. ’’Yang ketiga (parpol pendatang baru, Red) harus verifikasi administrasi, verifikasi faktual,’’ tuturnya.

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menambahkan, pertimbangan hukum yang digunakan MK agak rancu. Sebab, dalam penerapan teori keadilan, MK mendasarkan pada parliamentary threshold. ’’Parliamentary threshold ini instrumen statis di masa lampau,’’ ucapnya.

Padahal, lanjut dia, syarat layak atau tidaknya parpol semestinya didasarkan pada kondisi terbarunya. Apalagi, persyaratan yang diatur dalam UU seperti keanggotaan, kepemilikan kantor, dan kepengurusan partai bersifat dinamis. (far/c18/bay)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Raffi-Nagita Dikabarkan Adopsi Bayi Perempuan

Senin, 15 April 2024 | 11:55 WIB

Dapat Pertolongan saat Cium Ka’bah

Senin, 15 April 2024 | 09:07 WIB

Emir Mahira Favoritkan Sambal Goreng Ati

Sabtu, 13 April 2024 | 13:35 WIB
X