APBD Masuk Deposito, Kemendagri Sentil Pemda

- Rabu, 2 Juni 2021 | 11:43 WIB

JAKARTA– Persoalan rendahnya serapan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) terulang. Dari hasil analisis Ditjen Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), salah satu penyebabnya adalah kebiasaan pemerintah daerah (pemda) menempatkan APBD dalam deposito.

”Ada indikasi uang kas yang tersimpan di bank umum diorientasikan sebagai tambahan PAD,” ujar Dirjen Keuangan Daerah Kemendagri Mochammad Ardian Noervianto di kantor Kemendagri, Jakarta, (31/5).

Untuk diketahui, rata-rata realisasi belanja pemda hingga akhir Mei tercatat baru 21,98 persen. Angka itu tertinggal dari realisasi APBN pemerintah pusat yang mencapai 32 persen. Bahkan, masih ada pemda yang serapannya di bawah 10 persen. Di antaranya Provinsi Papua Barat, Kota Tangerang Selatan, Kota Bukittinggi, Landak, dan Halmahera Utara.

Rendahnya serapan itu sejalan dengan tingginya dana yang tersimpan di bank. Kemendagri mencatat, ada Rp 194,54 triliun dana APBD yang diparkir. Perinciannya, berbentuk giro Rp 138,99 T, deposito Rp 51,36 T, dan tabungan Rp 4,19 T. Dibandingkan dengan tahun lalu, angkanya naik sekitar Rp 3 triliun.

Ardian menjelaskan, pihaknya memaklumi jika keuangan daerah mengalami kontraksi di era pandemi. Namun, dari segi regulasi, penempatan dana pada instrumen deposito hanya dibolehkan sebatas manajemen kas. Hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019.

Contohnya, jika sebuah daerah memiliki dana 100, sementara kebutuhan bulan depan hanya 30, yang 70 boleh didepositokan. ”Dalam rangka menjamin kas, silakan. Tapi, kalau tujuannya menyimpan uang di bank dalam rangka mendapatkan bunga, mohon maaf, itu keluar dari regulasi,” jelasnya.

Ardian berharap pemda tidak menyalahi ketentuan tersebut. Dia mengingatkan adanya potensi pidana jika pemda terbukti memanfaatkan deposito secara salah. Saat ini Kemendagri bersama KPK, BPKP, dan Kemenkeu terus melakukan pemantauan.

Ardian juga mengingatkan para kepala daerah untuk menggenjot penyerapannya. Khususnya daerah-daerah yang angkanya masih di bawah 10 persen. ”Syukur-syukur angkanya bisa mendekati realisasi APBN (32 persen, Red),” tuturnya. Jika ada kendala atau kebingungan, pemda diminta tidak segan berkonsultasi ke pusat.

Terpisah, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Arman Suparman mengatakan, rendahnya serapan anggaran itu adalah problem klasik yang berulang. Paradigma money follow program atau memfokuskan anggaran pada program prioritas yang diinginkan pusat tidak mudah diaplikasikan daerah. ”Praktiknya sulit. Sebab, pemda menaruh di semua sektor di 30 urusan konkuren (urusan pusat yang dibagi ke daerah, Red),” ujarnya.

Kerumitan itu sedikit banyak berdampak pada lamanya penyusunan peraturan daerah (perda) APBD. Keterlambatan tersebut berdampak pada molornya belanja daerah. Anggaran umumnya baru terserap menjelang pertengahan tahun. ”Di level teknis, serapan rendah karena lelang terlambat sehingga berpengaruh ke daya serap belanja modal,” imbuhnya.

Jika ingin perubahan, Arman menilai perlu dilakukan reformasi yang membuat paradigma dan proses administrasi lebih mudah. Instrumen insentif/disinsentif juga harus diterapkan secara tegas. ”Jika triwulan pertama rendah, itu pemerintah pusat harus memberikan sanksi,” tegasnya.

Arman menekankan, jangan sampai setiap tahun pemerintah pusat menyalahkan pemda. Namun, di sisi lain, sistem tidak diperbaiki dan instrumen penegakan hukum tidak pernah dilakukan. Termasuk jika pemda mengamankan dana ke deposito. ”Jangan biarkan daerah berbuat hal yang sama setiap tahun,” pungkasnya. (far/c9/bay)

 

Grafis ---

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Garuda Layani 9 Embarkasi, Saudia Airlines 5

Senin, 22 April 2024 | 08:17 WIB
X