Belgia Ikut-ikutan Boikot Kelapa Sawit, Pasar Eropa Kembali Terganggu

- Minggu, 23 Mei 2021 | 13:03 WIB
ilustrasi
ilustrasi

SAMARINDA- Pemerintah Belgia berencana memberlakukan tahapan pelarangan penggunaan biofuel berbasis minyak sawit dan kedelai di negara tersebut sebagai bagian dari inisiatif untuk menghilangkan deforestrasi hutan. Keputusan tersebut akan diberlakukan pada 2022 mendatang.

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kaltim Muhammadsjah Djafar mengatakan, keputusan Belgia untuk melakukan larangan penggunaan sawit pada 2022 dikeluarkan jauh sebelum waktu yang ditetapkan Uni Eropa, yakni pada 2030. Diketahui, negara Uni Eropa memang bakal melarang penggunaan biofuel berbasis sawit untuk menjaga lingkungan dan keanekaragaman hayati.

Mereka ingin menggantikan sawit sebagai bahan baku biofuel dengan komoditas lain, seperti rapeseed, bunga matahari, gandum, jagung, maupun lemak hewani. “Langkah ini cukup disesalkan. Karena komoditas pengganti tersebut juga tidak lebih baik untuk lingkungan dibandingkan kelapa sawit,” tuturnya, Kamis (20/5).

Djafar menjelaskan, kelapa sawit menghasilkan lebih dari 6 ton minyak per hektare per tahun, bahkan mencapai 10 ton minyak per hektare per tahun. Jumlah ini lima kali lebih banyak dibandingkan minyak yang dihasilkan rapeseed, yakni sekitar 800–1.200 liter per hektare per tahun. Sehingga, produksi minyak yang dihasilkan dari satu hektare kebun kelapa sawit, setara dengan produksi minyak yang dihasilkan oleh 5 hektare kebun rapeseed di Uni Eropa.

Dari segi efisiensi penggunaan pupuk dan fitosanitari, kelapa sawit membutuhkan produk fitosanitari 100 kali lebih sedikit dibandingkan kedelai per ton minyak yang dihasilkan. Pupuk diterapkan secara rasional berdasarkan analisis daun yang tepat. Ketika rapeseed membutuhkan 230 kg pupuk per ton minyak yang diproduksi, kelapa sawit hanya membutuhkan 120 kg pupuk per ton minyak.

“Seperti biasanya negara-negara yang melarang kelapa sawit sebenarnya takut bersaing secara sehat. Sehingga, dibuat aturan pelarangan penggunaan sawit,” ungkapnya.

Berbagai negara yang melarang kelapa sawit tidak mempertimbangkan aturan tersebut dengan ilmiah. Masalah penggundulan hutan telah menjadi hal yang biasa. Deforestasi tentu saja sering, tetapi tidak secara sistematis menjadi prasyarat dalam sejarah pendirian perkebunan kelapa sawit, seperti halnya perkebunan lain di tempat lain.

Indonesia sebagai produsen minyak kelapa sawit berkelanjutan terbesar di dunia yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikasi ISPO, RSPO, dan ISCC menjadi bagian dari program kelapa sawit berkelanjutan dan telah mengurangi deforestasi dan degradasi hutan.

“Larangan-larangan dari berbagai negara sebenarnya melanggar banyak aturan perdagangan luar negeri. Memboikot minyak sawit tidak mendorong pengembangan berkelanjutan dari tanaman ini. Sehingga, kalau memang berbagai negara ini menuntut sawit harus berkelanjutan, maka dibutuhkan konsumsi yang baik bukan malah memboikot,” pungkasnya. (ctr/ndu/k15)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kontribusi BUM Desa di Kalbar Masih Minim

Kamis, 25 April 2024 | 13:30 WIB

Pabrik Rumput Laut di Muara Badak Rampung Desember

Senin, 22 April 2024 | 17:30 WIB
X