Menurut pihak RS Aisyiyah Samarinda, sejak awal prosedur yang dilakukan pasien salah. Sehingga dari hasil USG pun ternyata kantong kehamilan sudah tidak ada.
SAMARINDA–Penanganan pasien di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Aisyiyah Samarinda yang memantik polemik mestinya bisa dihindari. Hal itu diungkapkan Ketua Persatuan Rumah Sakit Indonesia (Persi) Kaltim dr Edi Iskandar. Menurut dia, pada era BPJS Kesehatan, masyarakat yang akan bersalin harus menyiapkan persalinan sejak jauh hari. Jika belum punya BPJS Kesehatan, agar mengurus. Apabila kepesertaan tidak aktif, maka segera membayar.
"Hal inilah yang sering diabaikan masyarakat. Masa sembilan bulan itu cukup panjang untuk mematangkan persiapan kelahiran," ungkapnya. Namun, pria yang menjabat Direktur Utama Rumah Sakit Kanujoso Djatiwibowo (RSKD) Balikpapan ini melanjutkan, Persi akan meminta keterangan pihak RSIA Aisyiyah Samarinda. Menurutnya, kasus ini perlu didalami lebih lanjut. Jika benar terjadi keterlambatan pasien masuk ke ruang perawatan karena uang panjar, dia menyayangkannya.
Seharusnya, tutur Edi, semua kasus darurat harus ditangani lebih dulu, baru persoalan administrasi diselesaikan. Karena itu, pihaknya akan menghubungi RSIA Aisyiyah untuk melakukan klarifikasi terkait kronologi yang sesungguhnya terjadi. "Tidak boleh ada masalah uang sehingga menunda pelayanan pasien," pesannya. Dari investigasi yang akan dilakukan, diharapkan akan terbit formula pembinaan rumah sakit yang benar.
Dia menyatakan, sebenarnya Persi rutin menggelar seminar dua kali dalam setahun untuk memperkuat manajemen pengelolaan rumah sakit. "Nanti ada rekomendasi tata cara mengelola yang baik bagi rumah sakit yang bermasalah. Harapannya juga tidak ada upaya hukum," katanya.
Sementara itu, manajemen RSIA Aisyiyah Samarinda membantah jika lambat menangani pasien. Sehingga menyebabkan janin yang dikandung pasien meninggal pada Minggu (16/5). Direktur RSIA Aisyiyah Samarinda dr Achlia Satijawati Dachlan mengatakan, pihaknya sudah menjalankan prosedur sebagaimana mestinya. Ketika pasien datang bersama keluarga, sesuai tata laksana, ketika belum bisa menunjukkan kepesertaan BPJS maka termasuk pasien mandiri. Sehingga ada syarat yang harus ditaati. Yakni membayar panjar.
"Tetapi kalau pasien menyatakan apa adanya, bahwa belum mampu melunasi panjar, maka akan dibuatkan surat pernyataan akan melunasi dilengkapi fotokopi KTP-el. Dan ini sudah kami lakukan kepada keluarga pasien Sy (Syafaruddin)," ucapnya kemarin. Dia menegaskan jika tidak ada pembiaran yang dilakukan pihaknya. Apalagi hingga dua jam dengan alasan administrasi. "Insyaallah kami lakukan prosedur medis yang baik sesuai tata laksana," katanya.
Dokter Novita Nurlita, selaku dokter umum yang berjaga pada saat pasien datang, menambahkan, berdasarkan laporan satpam, pasien datang bersama ibunya dengan laporan perdarahan. Anamnesis dan pemeriksaan fisik pun dilakukan. Kemudian dinyatakan emergency kategori triase hijau. Artinya masih bisa menunggu tetapi tetap dalam pemantauan atas keluhan perdarahan aktif dan nyeri perut.
"Kemudian kami konsultasi dengan Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) yakni dr Virdy Kurniawan SpOG, dinyatakan tidak perlu dilakukan VT, nanti dievaluasi. Sedang kondisi pasien harus dipertahankan dengan pemberian obat seperti penguat kontraksi dan penghentian pendarahan. Selama konsul pasien masih di UGD petugas laboratorium datang untuk prosedur tes swab antigen," ucapnya. Selama proses tersebut, dr Novi juga menanti kesiapan ruang tujuan pasien kepada perawat.
Namun, di bagian pendaftaran menyampaikan, belum bisa memberikan kepastian. Karena proses administrasi belum selesai. Dia pun mencoba menjelaskan prosedur tata laksana di rumah sakit. Bahwa pasien belum bisa menunjukkan kartu BPJS Kesehatan. "Ayah pasien mengaku dijamin oleh Pemkot Samarinda. Kami pun memastikan ke bagian pelayanan medis (yanmed), namun hasilnya tetap harus membayar panjar. Kami juga tidak tahu berapa nilai pasti yang bisa dibayar ketika tidak ada duit sejumlah Rp 3 juta," ucapnya.