JAKARTA- Desakan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terbuka perihal proses dan hasil asesmen tes wawasan kebangsaan (TWK) terus disuarakan. Itu bertujuan agar publik mengetahui seperti apa kualitas TWK yang mengakibatkan 75 pegawai KPK masuk kategori tidak memenuhi syarat (TMS) manjadi aparatur sipil negara (ASN) dan terancam diberhentikan dari lembaga antirasuah tersebut.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia dan Public Virtue Usman Hamid mengatakan jika merujuk pada pertanyaan-pertanyaan TWK sebagaimana disampaikan pegawai KPK, tidak ada yang mencangkup tentang persaudaraan, keadilan dan kebebasan. "Tes itu (TWK) jelas merupakan upaya menyingkirkan pegawai-pegawai KPK yang dianggap memiliki pandangan politik berbeda dari pemerintah," ujarnya.
Berdasar keterangan pegawai internal KPK kepada Jawa Pos, pelaksanaan TWK di kantor Badan Kepegawaian Negara (BKN) di Cawang itu terbagi dalam beberapa sesi. Pertama tes tulis berupa mengisi jawaban pilihan dan esai. Kemudian tes wawancara. Khusus tes tulis, pegawai diminta menjawab 200 soal pilihan dan esai dengan durasi waktu 4 jam yang terbagi dalam dua sesi.
Pertanyaan dengan pilihan jawaban setuju atau tidak itu antara lain : saya memiliki masa depan yang suram, saya hidup untuk menebus dosa-dosa masa lalu, semua orang Cina sama saja, semua orang Jepang kejam, UU ITE mengancam kebebasan berpendapat, agama adalah hasil pemikiran manusia, alam semesta adalah ciptaan Tuhan, hingga Nurdin M. Top, Imam Samudra, Amrozi melakukan jihad.
Kemudian pertanyaan esai meliputi topik organisasi Papua Merdeka (OPM), Partai Komunis Indonesia (PKI), Rizieq Shihab, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), narkoba, kebijakan pemerintah sampai LGBT. "Pas wawancara, saya sempat ditanya bersedia lepas jilbab nggak?, pas jawab nggak dibilang (pewawancara) lebih mementingkan pribadi daripada bangsa," ujar pegawai KPK yang minta namanya dirahasiakan itu.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengatakan, pihaknya tidak setuju jika pegawai yang TMS kemudian diberhentikan. Menurut dia, mereka yang TMS harus diberi kesempatan, diberikan pembinaan agar wawasan kebangsaannya naik. "Terimprove, sehingga menjadi memenuhi syarat (MS), bukan diberhentikan," terang dia.
Menurut dia, semuanya bergantung pada pimpinan KPK. Jika pimpinan KPK menyatakan bahwa mereka yang TMS itu diberi kesempatan dan diberikan pembinaan, maka hal itu bisa dilakukan. Setelah mereka memenuhi syarat, baru kemudian diangkat jadi ASN.
Wakil Ketua MPR itu mengatakan, 75 pegawai KPK yang dinyatakan TMS itu sudah mengabdi cukup lama di lembaga tersebut. Mereka adalah para patriot. Jadi, kata dia, seharusnya mereka tidak perlu lagi dites soal wawasan kebangsaan.
Apalagi, lanjut Arsul, pertanyaan yang diuji soal keislaman, salah satunya terkait qunut, dan pertanyaan lain yang tidak masuk dalam wawasan kebangsaan. "Saya juga tidak setuju soal itu," tegas Wakil Ketua Umum DPP PPP itu.
Polemik rencana pemberhentian 75 pegawai KPK yang tak lulus tes kebangsaan juga mendapat reaksi dari Fraksi PKS DPR. Sebagai partai oposisi di parlemen, PKS menilai spekulasi publik tentang pelemahan KPK bisa jadi benar melihat dinamika yang terjadi dalam lembaga antirasuah itu.
Untuk itu, mereka mendorong agar KPK bersama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB) duduk bersama untuk mengklirkan perihal status 75 pegawai tersebut. Juga, mengungkap secara gamblang tes kebangsaan yang telah dilakukan tersebut.
Anggota Fraksi PKS Mardani Ali Sera menjelaskan, tes kebangsaan ini telah menjadi urusan publik. Karena nasib 75 pegawai itu menentukan juga berjalannya lembaga antirasuah tersebut ke depan, yang tentunya berdampak pada masyarakat secara luas.
"KPK mesti duduk beareng bersama Kemen PAN-RB menjelaskan duduk permasalahan, termasuk tes wawasan kebangsaan," jelas Mardani kemarin. Yang diminta antara lain maksud dan tujuan dari tes, alur, serta latar belakang adanya pertanyaan-pertanyaan yang problematis dan tidak sesuai konteks.
Anggota Fraksi PKS lainnya, Nasir Djamil, juga mempertegas perlunya melibatkan Kemen PAN-RB. Nasir khawatir bahwa spekulasi publik terhadap tes kebangsaan ini bisa jadi benar, meski butuh instrumen yang jelas untuk membuktikannya. Sangat disayangkan apabila 75 pegawai yang telah berpengalaman dan berdedikasi itu harus menghentikan pengabdian di tengah jalan, padahal kemampuannya masih dibutuhkan.