MK : Alih Status Tak Boleh Rugikan Pegawai KPK

- Kamis, 6 Mei 2021 | 10:38 WIB

JAKARTA- Setelah lebih dari satu tahun, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengeluarkan putusan terhadap gugatan Undang-Undang Nomor 19/2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), kemarin (4/5). Baik terhadap gugatan formil, maupun gugatan materiil yang diajukan eks pimpinan KPK periode 2015-2019 bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil maupun perorangan.

Terkait gugatan formil, MK menolak sepenuhnya. Mahkamah menilai dalil para pemohon yang mengatakan revisi UU KPK melanggar prosedur perundang-undangan tidak terbukti. Terkait dalil revisi UU KPK diubah secara terselubung, MK juga menilai tidak beralasan.

Berdasarkan fakta persidangan, revisi UU KPK sudah direncanakan sejak lama dan telah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) sejak tahun 2015. “Mahkamah berpendapat bahwa ternyata RUU KPK telah terdaftar Prolegnas dan berulang kali terdaftar dalam Prolegnas Prioritas,” ujar Hakim MK Arief Hidayat. Soal pembahasan yang berlangsung cepat, Mahkamah menilai hal itu sangat berkaitan erat dengan substansi dari RUU tersebut.

MK juga mementahkan dalil soal tidak dilibatkannya publik dan kelembagaan KPK dalam proses revisi. Dalam persidangan, DPR melampirkan sejumlah rapat dengar pendapat dengan sejumlah ahli hukum sejak tahun 2017. Kemudian, berbagai seminar terkait rencana perubahan UU KPK juga dilangsungkan di sejumlah kampus.

Soal anggapan KPK yang tidak dilibatkan saat pembentukan RUU KPK juga dinilai tidak sesuai. Faktanya, kata MK, undangan sudah disampaikan pada 3 februari 2016 dan 20 September 2017 namun tidak dihadiri pimpinan KPK. “Secara faktual, KPK yang menolak untuk dilibatkan dalam proses pembahasan rencana revisi UU KPK,” ujar Hakim MK Saldi Isra.

Sementara Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memberikan pendapat berbeda. Dia menilai proses revisi tidak dilakukan secara baik. Meski idenya sudah lama, Wahiduddin menilai proses akhir dilakukan secara cepat dan tidak memenuhi prinsip penyusunan UU yang baik.

Dia berpendapat, seharusnya UU KPK hasil revisi dapat dibatalkan dan memulai kembali secara benar. “Agar pembentuk undang-undang dapat mengulang proses pembentukan undang-undang mengenai KPK dengan cara yang lebih baik, dalam suasana yang lebih tenang, serta dalam jangka waktu yang lebih rasional dan proporsional,” tandas Wahiduddin.

Di sisi lain, dalam gugatan materiil, MK mengubah sejumlah ketentuan dalam UU KPK hasil revisi. Pertama, MK menambah definisi kelembagaan KPK sebagai lembaga eksekutif yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Kedua, MK juga mencabut ketentuan pasal 12B, 37B ayat 1 huruf b, dan pasal 47 ayat 2 yang mengatur kewajiban izin penyelidikan, penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan kepada dewan pengawas. Mahkamah menilai, izin tersebut rawan penyalahgunaan.

“Menurut Mahkamah, terkait dengan penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan tersebut, KPK hanya memberitahukan kepada Dewan Pengawas,” tuturnya. Terhadap keinginan pemohon agar Dewas ditiadakan, MK tidak menilai relevansinya. Para hakim berpendapat, alasan pemohon yang menilai Dewas menciptakan tumpang tindih dinilai tidak beralasan. Sebab, dewas menjalankan fungsi pengawasan.

Kemudian, MK memandang posisi posisi Dewas tidak bersifat hierarkis dengan Pimpinan KPK. Sehingga dalam desain besar pemberantasan korupsi, keduanya tidak saling membawahi namun saling bersinergi sesuai fungsi masing-masing. Lebih lanjut lagi, MK juga memberikan pendapatnya terkait peralihan pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara (ASN). MK menegaskan, ketentuan peralihan tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun. “Sebab, para pegawai KPK selama ini telah mengabdi di KPK dan dedikasinya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak diragukan,” tuturnya.

 

Sebagaimana norma peralihan, bagi penyelidik, penyidik dan bagi pegawai KPK yang belum berstatus sebagai pegawai ASN maka dalam jangka waktu paling lama dua tahun dapat diangkat sebagai ASN. ”Pengangkatan dimaksud dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (UU ASN),” jelasnya. 

Di sisi lain, KPK menegaskan hasil asesmen tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat pegawai menjadi ASN belum bisa disampaikan ke publik. Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPK Cahya H. Harefa menyatakan hasil tes tersebut masih tersegel dan disimpan di tempat yang aman. "Akan diumumkan dalam waktu dekat sebagai bentuk transparansi kepada seluruh pemangku kepentingan KPK," ujarnya. 

Cahya belum mau bicara banyak soal nama-nama yang dikabarkan tidak lolos TWK. Hanya, dia mengatakan bahwa hasil yang disampaikan Badan Kepegawaian Negara (BKN) kepada KPK pada 27 April tersebut merupakan penilaian daru 1.349 pegawai yang telah mengikuti TWK. "Dan itu (TWK) merupakan syarat pengalihan pegawai menjadi ASN," terangnya. 

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X