Sidang Lanjutan Korupsi Proyek Irigasi Kukar, Proyek Itu Tanpa Izin Pusat

- Kamis, 6 Mei 2021 | 09:57 WIB

DESA Sepatin, Anggana, Kutai Kartanegara (Kukar) sudah jadi kawasan kehutanan sejak 1983 silam. Berjalannya waktu, bentuk kawasan itu berubah-ubah mengikuti tata ruang wilayah Kaltim di skala nasional. Kendati bergonta-ganti, bentuk kawasan yang ditetapkan pusat tak berubah. Tetap berbentuk kawasan hutan konservasi.

“Ketetapan itu berasal dari pusat, saat ini KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan),” ucap Arif Rahmansyah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Samarinda, Senin (3/5). Kepala Seksi Pengelolaan Kawasan Hutan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah IV Samarinda ini, hadir sebagai saksi dalam sidang lanjutan korupsi proyek irigasi Kukar senilai Rp 9,58 miliar yang menyeret tiga terdakwa.

Yaitu Maladi (pejabat pembuat komitmen/PPK proyek), Amiruddin (direktur PT Akbar Persada Indonesia/API), dan Moh Thamrin (pelaksana kegiatan PT API). Dijelaskan Arif, dia baru menjabat di BPKH Wilayah IV medio 2017. Namun, penetapan KLHK terakhir yang berlaku untuk Desa Sepatin saat ini ialah kawasan budidaya hutan produksi merujuk keputusan menteri yang terbit pada 2014 lalu.

“Sebentar lagi akan kembali di-review menyesuaikan RTRW Kaltim yang sudah terpisah dengan Kaltara. Dalam keputusan itu sebelum pemekaran,” ulasnya. Hadirnya keputusan itu membuat semua kegiatan fisik yang mengalihfungsikan lahan di kawasan itu haruslah berdasarkan restu pusat. Jika tidak, jelas melanggar aturan yang sudah diterbitkan itu. Soal irigasi yang dikerjakan Pemkab Kukar diakuinya belum berizin.

Disinggung penasihat hukum para terdakwa, mengapa lokasi yang ditetapkan hutan produksi itu ada masyarakat yang memiliki lahan hingga memiliki usaha tambak, ihwal ini, aku Arif, sejak pertama kali ditetapkan pada 1983, memang sempat ada penerbitan hak pakai lahan (HPL) di kawasan seperti itu. Namun, ini tak lagi berlaku sejak 2011. “Jadi, masyarakat pada dasarnya tak punya HPL itu lagi,” sambungnya.

BPHK, lanjut dia, hanya bertugas menata batas kawasan yang ditetapkan kementerian. Untuk keberadaan masyarakat di atas lahan itu menjadi kewenangan pemerintah setempat, bukan instansi tempatnya bekerja. “Bentuknya tetap izin, pemakaian lahan itu untuk kawasan pemukiman misalnya,” jelasnya. Nah, izin seperti itu haruslah pemerintah daerah yang mengurusnya langsung ke KLHK.

Memang tak ditepisnya, penetapan tata batas kawasan hutan itu muncul di atas lokasi lahan yang sudah dihuni masyarakat sejak lama yang tak memiliki hak kepemilikan lahan. Masyarakat pada dasarnya diperkenankan untuk itu, hanya saja tak boleh memanfaatkan lahan tersebut secara langsung. Selain dia, ada satu saksi lain yang dihadirkan JPU Iqbal, Edi Setiawan, dan Ando Rumapea, yakni Irma, perwakilan dari Bankaltimtara.

Di depan majelis hakim yang digawangi Joni Kondolele bersama Parmatoni dan Ukar Priyambodo itu, dia menjelaskan jika pembayaran pekerjaan irigasi senilai Rp 9,05 miliar itu dicairkan bertahap oleh Pemkab Kukar. “Dari data yang ada dua kali, pak. Pertama Rp 1,8 miliar, baru sisanya. Lewat cek,” tuturnya.

Dari data keuangan itu pula, pihak yang mencairkan cek tersebut bernama Sinasari dan Hamzah. Namun dalam cek, spesimen yang tertulis atas nama Amiruddin. Saat gilirannya, terdakwa Moh Thamrin menyebutkan memang bukan dia yang mencairkan pembayaran tersebut di bank selepas proyek rampung. Melainkan rekannya. “Hamzah dan istrinya pak. Saya memang ikut tapi mereka yang urus di Bank,” singkatnya.

Diketahui, dalam dakwaan yang dibacakan JPU pada 11 Februari lalu, proyek irigasi ini ditujukan perbaikan saluran sungai untuk jalur distribusi air ke tambak warga di Desa Sepatin. Acuan dasar peningkatan yang disusun menilai ada tujuh tambak warga dengan lahan seluas 559.84 hektare atau 47 petak tambak dinilai perlu penguatan irigasi dan dianggarkan sebesar Rp 9,58 miliar.

Uang daerah sudah diplot, terdakwa Maladi menyurvei ulang lokasi kegiatan dan mengubah usulan menjadi lima tambak seluas 388,04 hektare atau 31 petak. Lelang dilaksanakan dan dimenangkan PT API milik Amiruddin yang dipinjam M Thamrin. Tinjauan lapangan PPK dan M Thamrin menilai, proyek tak mungkin terlaksana karena tertutup rimbunnya pohon nipah dan belum terdapat tanggul untuk menunjang drainase yang hendak dikerjakan.

Tanpa adendum, keduanya menggeser kegiatan itu ke kawasan tambak milik warga lainnya dan mengubah bentuk kegiatan dari peningkatan jaringan irigasi menjadi peninggian tanggul tambak. Masalah lain muncul, lima tambak warga yang mendapat limpahan proyek itu berada di kawasan budidaya hutan sesuai surat telaahan BPKH Wilayah IV Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan Nomor S.580/BPKH IV-2/2014 tertanggal 24 Juli 2014. (ryu/riz/k15)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X