SAMARINDA–Hibah yang diterima LPK Eksekutif Insentif (EI) hadir lewat usulan fraksi Golkar di Karang Paci, sebutan DPRD Kaltim. Setiap anggota dewan dari partai beringin bisa mengusulkan ke mana saja bantuan diberikan sesuai lokasi konstituen masing-masing.
“Saya enggak tahu persis berapa dan siapa saja yang terima karena banyak,” ucap HM Syahrun, anggota DPRD Kaltim yang bersaksi di Pengadilan Tipikor Samarinda, (3/5). Pria yang akrab disapa H Alung itu hadir sebagai saksi dalam kasus gratifikasi senilai Rp 100 juta yang menyeret Encik Widyani, legislator Kaltim periode 2009–2014.
Lanjut Alung, di depan majelis hakim yang dipimpin Parmatoni bersama Joni Kondolele dan Ukar Priyambodo, setiap anggota fraksi biasanya mengumpulkan konstituen yang akan diusulkan untuk menerima bantuan pemerintah tersebut. Seluruh dokumen itu diakui tak dilihatnya satu demi satu. Ada bantuan staf fraksi yang menghandel. Tentu, sebelum usul diajukan ke Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kaltim, harus ada permohonan yang diajukan.
Dari Banggar, akumulasi usulan dari setiap fraksi yang ada dikawal ke rapat anggaran bersama tim anggaran pemerintah daerah Kaltim. “Biasanya, besaran yang diberikan menurun dari permohonan dan tak semua bisa diakomodasi. Menyesuaikan fiskal daerah,” sambung ketua DPRD Kaltim Periode 2014–2019 itu.
Politikus Golkar yang kembali duduk di Karang Paci itu menegaskan tak tahu besaran dan dari siapa hibah yang diterima LPK EI. “Saya tahu hibah itu dari usulan Encik ketika diperiksa polisi,” singkatnya.
Selain Alung, ada tiga saksi lain yang dihadirkan JPU Sri Rukmini dan Indriasari. Mereka adalah Januar (bendahara LPK EI), M Ramadan (sekretaris DPRD Kaltim), dan Indah (perwakilan BPD Kaltim). Januar merupakan anak Eko Sukasno, pemilik LPK EI yang meninggal beberapa waktu lalu sebelum perkaranya disidangkan di meja hijau.
Di persidangan, Januar mengaku almarhum ayahnya itu pernah bercerita jika menyisihkan sedikit hibah yang diterima LPK untuk terdakwa Encik karena membantu lembaga miliknya mendapat bantuan pemerintah. “Almarhum ayah pernah bilang begitu. Kirim transfer. Tak tahu besarannya,” ucap dia.
Pada hari yang sama, kala itu, ayahnya kembali mentrasfer dan hal itu sempat ditanyakannya. “Tapi, almarhum dulu bilang yang ditrasfer kurang. Kirimnya Rp 10 juta, kurang Rp 90 juta. Hanya itu, saya tak ikut ketika transfer hanya tahu transfer dari penuturan beliau,” sambungnya.
Disinggung pernah bertemu dengan terdakwa Encik, saksi mengaku hanya sekali. Sebelum hibah diterima LPK. “Bu Encik ada ke rumah. Saat itu, kata ayah, dia mau bantu biar dapat bantuan,” singkatnya. (ryu/dra/k8)