Masalah lama di dunia perburuhan menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Mulai bayang-bayang PHK hingga pemangkasan pendapatan. Yang membuat tuntutan kaum pekerja masih sama.
Menjadi salah satu elemen penting dalam pembangunan, kaum buruh di Indonesia hingga kini masih menghadapi ragam persoalan. Tahun lalu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pandemi Covid-19 memaksa jutaan pekerja menganggur.
Dalam peringatan Hari Buruh atau May Day pada 1 Mei 2021, sejumlah tuntutan masih diutarakan perwakilan buruh dan pekerja. Belum berakhirnya pandemi membuat bayang-bayang PHK masih ada. Di sisi lain, pemangkasan pendapatan atau upah pekerja masih terjadi.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kaltim Kornelis Wiriyawan Gatu menyebut, dampak PHK tahun lalu masih menjadi pekerjaan rumah saat ini. Banyak pekerja yang belum mendapatkan hak mereka. Jalur mediasi hingga berujung ke meja Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) tetap berlangsung. “Sengketa perburuhan meningkat,” ujar Kornelis, Jumat (30/4).
Di Katim, setidaknya ada tiga sektor utama yang mengalami gejolak selama pandemi. Yakni perkebunan, transportasi, dan pertambangan. Tiga sektor ini disebut Kornelis menyumbang paling banyak PHK di kalangan pekerja.
“Sektor pertambangan dan transportasi menyumbang 60-70 persen kasus sengketa. Sementara perkebunan seperti kelapa sawit sekitar 20 persen,” sebutnya. Untuk jumlahnya, ucap Kornelis, hingga kini pihaknya masih mengumpulkan data.
Selain itu, buruh yang masih bekerja hingga kini masih kehilangan hak mereka dengan dilakukannya pemangkasan sejumlah pendapatan. Di sektor pertambangan batu bara misalnya, sejumlah pemangkasan dilakukan dengan alasan melemahnya permintaan batu bara dari negara tujuan ekspor. Seperti India dan Tiongkok. “Perusahaan beralasan sulitnya mencari buyer,” ungkapnya.
Namun, di sektor perkebunan kelapa sawit kondisinya disebut lebih baik beberapa bulan terakhir. Sebagai negara pengekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia, masih memiliki pasar di luar negeri. Jadi, kondisi pandemi tidak begitu dirasakan perusahaan-perusahaan di sektor ini.
“Tetapi masih tersisa persoalan tahun lalu. Di mana yang nyata adalah pembayaran THR (tunjangan hari raya) dicicil. Bahkan ada yang sampai delapan kali,” katanya.
Lewat PHI, kasus sengketa ini ada beberapa yang sudah diselesaikan. Namun, ada juga yang belum. KSPI juga mencatat, sejumlah perusahaan selama pandemi menaikkan standar kerja untuk meningkatkan efisiensi. Hal ini berdampak pada meningkatnya beban kerja buruh demi menembus target yang ditetapkan perusahaan. “Tentu ini tidak berbanding lurus dengan upah yang diterima pekerja,” tuturnya.
Tetapi KSPI tidak mempersoalkan adanya pemotongan upah atau dihilangkannya sejumlah tunjangan dan insentif pekerja. Asal sesuai ketentuan dan melalui jalur mediasi antara pekerja dan pengusaha. Bahkan di sektor pertambangan batu bara, pihaknya juga membantu mencari buyer. Dengan begitu, akan berdampak positif terhadap kesejahteraan pekerja.
“Yang kami lakukan adalah menciptakan suasana kondusif antara pekerja dan pengusaha. Karena konflik hanya akan mengganggu stabilitas dan keamanan,” ungkapnya.
Pada May Day tahun ini, KSPI juga masih menerima laporan adanya perusahaan yang menunggak iuran pembayaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), baik itu ketenagakerjaan maupun kesehatan. Hal ini tentu merugikan pekerja. Sebab, klaim untuk pengobatan, jaminan hari tua, hingga kematian tidak bisa dilakukan.