JAKARTA– Kekhawatiran proses pemungutan suara ulang (PSU) bakal memunculkan gugatan jilid lanjutan ternyata terbukti. Sejumlah pasangan calon (paslon) yang tidak puas dengan hasil coblosan ulang kembali membawa perkara itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dilansir dari laman MK, hingga kemarin sore (30/4), sudah ada enam perkara PSU di lima daerah yang telah masuk. Yakni di Labuhanbatu, Labuhanbatu Selatan, Mandailing Natal, Sekadau, dan dua perkara dari Rokan Hulu. Perkara itu menjadi gugatan kedua masing-masing daerah. Gugatan pertama dilayangkan seusai penetapan hasil Pilkada 2020 di mana sidang MK memutuskan adanya PSU.
Dalam berkas perkara yang diajukan, para pemohon menilai masih ada kecurangan saat diselenggarakannya PSU. Di Labuhanbatu Selatan, misalnya, pemohon paslon Hasnah Harahap-Kholil Jufri menuding paslon Edimin-Ahmad Padli menekan pilihan pemilih dengan mengerahkan Pemuda Pancasila. Selain itu, diduga telah terjadi pemaksaan oleh pengusaha sawit kepada karyawannya untuk memilih paslon Edimin-Ahmad.
Kemudian, di Mandailing Natal, paslon Dahlan Hasan-Aswin menyebut paslon Jafar Sukhairi-Atika Azmi melakukan kampanye terselubung yang dikemas lewat acara hiburan. Pemohon juga menyebut telah terjadi pembagian uang tunai kepada sebagian pemilih yang dibiarkan pengawas. Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan, gugatan terhadap hasil PSU akan diteliti untuk dinilai kelayakannya. ”Sebagai perkara baru, sudah pasti wajib diproses,” ujarnya.
Fajar menilai wajar jika saat ini pemilihan kembali digugat. Sebab, hasil PSU ditetapkan melalui surat keputusan (SK) KPU. Sehingga hal tersebut menjadi objek hukum baru. ”Itu salah satu konsekuensi penetapan perolehan suara pasca-PSU dengan SK penetapan baru KPU kabupaten/kota,” imbuhnya.
Sementara itu, peneliti lembaga Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana menilai MK patut mengkaji gugatan tersebut. Meski PSU sudah terlaksana, jika memang masih terjadi pelanggaran, bisa diproses sampai tercapai keadilan substantif. ”Baiknya MK tetap memeriksa untuk kepastian hukum. Ini lebih baik daripada paslon mengambil upaya hukum lainnya,” ujar dia.
Apalagi, lanjut Ihsan, sudah ada preseden saat Pilkada Serentak 2015. Saat itu MK menyatakan bahwa pilkada di Kabupaten Mamberamo Raya harus melakukan PSU lagi. Sebab, dalam PSU sebelumnya terjadi pelanggaran.
Terkait potensi berlarut-larutnya perkara, Ihsan menilai hal itu sebagai konsekuensi sampai terselenggara pilkada yang benar-benar adil. Karena itu, Ihsan menyebut penting bagi penyelenggara memastikan pelaksanaan PSU yang demokratis. Sehingga tidak ada celah untuk memperpanjang gugatan ke MK. ”Jika enam (perkara, Red) ini ditolak oleh MK, sudah ada kepastian hukum. Tetapi, jika ternyata MK mengabulkan kembali, ruangnya akan makin panjang,” ungkapnya.
Jumlah gugatan lanjutan terhadap PSU masih potensial bertambah. Sebab, masih ada daerah lain yang belum melaksanakan PSU. Di antaranya Sabu Raijua, Nabire, Yalimo, Boven Digoel, Provinsi Jambi, dan Kalimantan Selatan. (far/c9/bay)