Maria Ressa Diganjar Penghargaan UNESCO

- Kamis, 29 April 2021 | 14:42 WIB
Maria Ressa
Maria Ressa

PARIS- Perjuangan Maria Ressa diakui dunia. Jurnalis asal Filipina itu Selasa (27/4) mendapatkan penghargaan tahunan kebebasan pers dari UNESCO. Ressa bukan jurnalis biasa. Beritanya yang mengkritik tajam pemerintah membuatnya harus berurusan dengan hukum.

’’Perjuangan Maria Ressa untuk kebebasan berekspresi adalah contoh bagi banyak jurnalis di seluruh dunia,’’ ujar Ketua Penjurian Marilu Mastrogiovanni seperti dikutip Agence France-Presse. Itu bukan penghargaan pertama. Dia pernah menjadi Person of the Year majalah Time pada 2018.

Ressa adalah mantan jurnalis investigasi utama wilayah Asia untuk CNN serta kepala jaringan domestik ABS-CBN News. Dia kini mengelola situs web berita Rappler. Berita-berita yang diunggah Rappler kerap membuat Presiden Filipina Rodrigo Duterte berang.

Dia telah terlibat dalam banyak inisiatif internasional untuk mempromosikan kebebasan pers. Ressa ditangkap beberapa kali atas tuduhan kejahatan yang berkaitan dengan jurnalisme. Belakangan ini dia menjadi target pelecehan berbasis gender dan ancaman online. Ada momen saat dia menerima rata-rata 90 persen kebencian per jam di akun Facebook-nya.

Tiga tahun lalu, Duterte menyebut Rappler sebagai outlet berita palsu. Sejak saat itu, Ressa dan bisnisnya dijerat dengan berbagai dakwaan. Setidaknya ada 11 kasus hukum yang harus diselesaikan Ressa. Bulan lalu dia menjalani sidang untuk menyangkal tuduhan menghindari pajak.

Jurnalis 57 tahun itu sempat dihukum karena didakwa melakukan fitnah cyber oleh pengadilan Manila. Dia bebas dengan jaminan sembari menunggu banding. Jika terbukti bersalah, dia bakal dijatuhi hukuman enam tahun penjara. Duterte didesak agar membebaskan Ressa dari segala tuduhan, tapi pemimpin 76 tahun itu bergeming. ’’Kasusnya merupakan simbol dari tren global yang mewakili ancaman nyata bagi kebebasan pers serta demokrasi,’’ tegas Mastrogiovanni.

Ressa menyatakan bahwa kasus hukum yang membelitnya adalah balasan atas kritiknya terhadap kebijakan Duterte. Salah satunya adalah perang melawan narkoba yang telah menewaskan ribuan orang. Duterte diyakini menggunakan death squad untuk membunuh orang yang ditengarai sebagai pengguna maupun pengedar. Mereka tewas tanpa adanya proses pengadilan. (sha/c6/bay)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X