Pastikan Tetap Perhatikan HAM, TNI Belum Tambah Pasukan di Papua

- Kamis, 29 April 2021 | 13:24 WIB
Evakuasi jenazah kekejaman KKB di Papua (Cendrawasih Post/ Jawa Pos Group)
Evakuasi jenazah kekejaman KKB di Papua (Cendrawasih Post/ Jawa Pos Group)

JAKARTA- Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jenderal TNI Purnawirawan Moeldoko Rabu (28/4) menegaskan lagi komitmen pemerintah untuk menyelesaikan persoalan di Papua. Menurut dia, masalah tersebut bakal ditangani secara terukur dan proporsional. Tentu dengan tetap mengedepankan hak asasi manusia (HAM). Sampai kemarin, pemerintah meyakini bahwa pendekatan penegakan hukum merupakan salah satu jalan yang perlu ditempuh untuk menuntaskan masalah di sana. Khususnya yang terkait dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

Mantan panglima TNI itu menyampaikan hal tersebut dalam Festival HAM 2021. "Presiden sudah pesan (kepada) kapolri dan panglima TNI untuk wanti-wanti terhadap persoalan HAM," kata Moeldoko. Walau belakangan ini KKB terus beraksi dengan menyerang aparat serta masyarakat sipil, pemerintah ingin masalah tersebut diselesaikan sesuai ketentuan yang berlaku. "Harus ditangani secara terukur, proposional, dengan pendekatan penegakan hukum," lanjut dia.

Moeldoko tidak menapik, dari laporan yang dia terima aksi KKB belakangan ini kian berbahaya bagi masyarakat. Sebab, kelompok tersebut tidak segan membunuh masyarakat sipil yang tidak berdosa. Salah satu contohnya guru dan pelajar yang meninggal dunia setelah mereka serang. Tidak hanya itu, KKB sudah membakar sekolah serta dilaporkan mengintimidasi masyarakat. "Sehingga masyarakat keluar dari daerahnya, itu bisa (masuk) kategori kegiatan terorisme. Itu kegiatan-kegiatan sudah menjurus kegiatan terorisme," beber dia.

Namun demikian, pemerintah tidak gegabah merespons kondisi tersebut. Untuk itu, usulan mengubah penyebutan KKB menjadi Kelompok Separatis dan Teroris (KST) masih dikaji. "Kami lagi kaji dengan seksama," ujarnya. Yang pasti, kata dia pemerintah tidakan akan mundur menindak KKB karena mereka sudah mengganggu dan mengancam keselamatan masayarakat. Hanya pemerintah juga berusaha sebaik mungkin untuk tetap menghormati HAM. "Kita tidak boleh mengabaikan tentang itu," kata Moeldoko menegaskan.

Selain itu, pemerintah juga akan terus melanjutkan dialog yang selama ini sudah berjalan. Yakni dialog dengan tokoh-tokoh di Papua. "Baik akademisi, tokoh-tokoh budaya, tokoh agama, dan masyarakat yang berasal dari (orang) asli Papua," bebernya. Menurut dia, dialog itu penting untuk menuntaskan masalah di Papua secara lebih komprehensif. Lewat jalur dialog, masih kata Moeldoko, pemerintah yakin ada jalan yang lebih baik untuk menyelesaikan persoalan Papua. "Penyelesaian yang pas, tidak mengorbanan banyak pihak," lanjut dia.

Tim kajian Papua LIPI Prof Cahyo Pamungkas mencermati eskalasi kekerasan di Papua yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Kekerasan itu berujung korban tewas pada warga sipil. Baik dari pihak KKB - OPM maupun TNI - Polri, sama-sama pernah berbuat kekerasan sampi berujung korban tewas. ’’Aparat (TNI - Polri, Red) kita juga membunuh warga sipil. Dengan tuduhan orang yang dibunuh adalah warga OPM (organisasi papua merdeka, Red). Sebaliknya juga OPM membunuh warga sipil yang dicurigai dekat dengan TNI atau Polri,’’ kata Cahyo kemarin.

Dia menegaskan eskalasi kekerasan yang menguat itu harus dicegah. Supaya tidak meluas dan menjdi perang terbuka. Upaya pertama yang bisa dilakukan adalah jeda kemanusiaan. Yaitu kesepakatan dari kedua pihak, pemerintah dan OPM - KKB, untuk sama-sama menghentikan kekerasan. Dalam masa jeda kemanusiaan itu kedua pihak harus sepakat untuk menahan diri. ’’Tidak melakukan serangan. Bertahan di pos masing-masing,’’ katanya. Kemudian selama jeda kemanusiaan itu, dibuka jalur transportasi evakuasi warga sipil yang selama ini terjebak di lokasi konflik.

Para warga sipil itu dimobilisasi ke daerah yang lebih aman. Kemudian juga dibuka akses kemanusiaan untuk pemenuhan kebutuhan makanan dan sejenisny untuk warga sipil.

Selain itu dalam masa jeda kemanusiaan itu ditetapkan de-escalation zones atau save zone. Di dalam zona hijau ini, tidak boleh ada kekerasan. Baik yang dilakukan oleh TNI dan Polri maupun KKB atau OPM. Penentuan de-escalation zones ini seperti yang dilakukan di Suriah. Setelah tahapan jeda kemanusiaan, diupayakan tahap gencatan senjata. Baru setelah itu fase perundingan perdamaian.

Menurut Cahyo penanganan kekerasan KKB atau OPM tidak bisa dengan cara menggempur mereka sampai habis. Tetapi harus diselesaikan dari akar permasalahannya. Sebab kalau akar permasalahannya tidak diselesaikan, nanti akan terulang kembali oleh generasi KKB - OPM berikutnya. Dia mengatakan sedikitnya ada empat akar persoalan di Papua. Akar permasalahannya adalah isu politik dan HAM, isu sejarah Papua, marjinalisasi Papua, dan urusan pembangunan.

Cahyo menyampaikan, cara kekerasan yang dilakukan pemerintah selama ini terbukti gagal. Dia juga kurang sepakat dengan istilah teroris bagi para KKB atau OPM. Begitupun dengan pendekatan pembangunan juga tidak efektif. ’’Kami akui di masa Pak Jokowi sekarang, pembangunan di Papua luar biasa,’’ katanya. Dia mengungkapkan di Papua banyak dibangun SD. Tetapi ternyata tidak ada gurunya sehingga anak-anak Papua setempat tidak mendapatkan layanan pendidikan berkualitas. Kemudian juga dibangun banyak puskemas. Tetapi tidak ada dokter, perawat, dan stok obat-obatannya.

Warga di pedalaman tetap harus ke pusat ibukota untuk akses kesehatan. Dibukanya jalan tanah maupun aspal, ternyata juga lebih dimanfaatkan oleh pebisnis atau pemodal dari luar Papua. Khususnya dari luar Wamena. Dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas Presiden Jababeka Emir Chairullah mengatakan pemerintah harus mulai mengubah pendekatan dalam menyelesaiakn konflik kekerasan di Papua. ’’Pemerintah tidak cukup hanya menggunakan pendekatan kesejahteraan apalagi keamanan,’’ katanya.

Kedua pendekatan itu terbukti tidak efektif dalam menyelesaikan konflik yang sudah terjadi selama puluhan tahun di Papua. Pemerintah sudah waktunya menggunakan kembali pendekatan resolusi konflik dalam menanganai kasus bernuansa separatisme di Papua. Pendekatan resolusi konflik dilakukan dengan meja perundingan. Seperti yang pernah dilakukan di era Presiden B.J. Habibie dan Gus Dur. Upaya resolusi konflik waktu itu terbukti relatif efektif dalam mengurangi kekerasan di Papua.

Berkaitan dengan penguatan intensitas operasi di Papua, Kepala Penerangan (Kapen) Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) III Kolonel Czi I. G. N. Suriastawa menyatakan sejauh ini TNI belum menambah kekuatan mereka di sana. Informasi yang sama diterima Jawa Pos dari Kodam XVII/Cenderawasih. Namun demikian, hal itu tidak lantas mengendorkan langkah aparat keamanan mengejar KKB. "Tetap dilaksanakan pengejaran untuk mempersempit ruang gerak OPM," imbuhnya.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X