Labirin Terorisme

- Rabu, 28 April 2021 | 11:14 WIB

Oleh Miftah Faried Hadinatha

Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum UGM

 

Dua peristiwa terakhir, yakni bom bunuh diri di Geraja Katedral, Makassar Sulawesi Selatan (28/3/2021), disusul penembakan aparat penegakan hukum di Markas Besar Polisi Republik Indonesia oleh seorang wanita yang masih muda (31/3/2021), menjadi pertanda, bahwa penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan guna mencapai tujuan tertentu (terorisme), menjadi cara yang paling digemari bagi sebagian orang, sekaligus menyisakan jejak yang sulit ditelusuri.

Apabila dilacak jauh ke belakang, khususnya di Indonesia, tindakan terorisme sudah berlangsung sejak lama, dan terus mendapat momentumnya. Tentu masih terngiang dengan jelas, peristiwa bom bali tahun 2002 lalu; ada lagi peledakan bom tahun 2003 di hotel JW Mariot; kemudian bom buku tahun 2011; bom bunuh diri di depan masjid Mapolresta, Poso Sulteng 2013 lalu; kejadian baku tembak antara densus 88 dengan kelompok teroris mujahidin tahun 2015; peristiwa di jalan MH. Tamrin Jakarta Pusat 2016; bom bunuh diri di Polrestabes Medan 2019. Ini hanya segelintir fenomena besar, belum ditambah dengan fenomena kecilnya. Jika ditambah, tentu angka kasusnya akan lebih tinggi lagi. Baik fenomena besar ataupun kecil, sama-sama meninggalkan kekhawatiran. Utamanya, dalam hal kehangatan dalam berwarga negara.

Dalam batas penalaran wajar, mustahil kejadian-kejadian di atas, hanya dilakukan satu orang saja. Layaknya gunung es, yang terlihat hanya pucuknya. Sementara bagian bawahnya tertutup dengan rapi, menukik panjang ke bawah, yang ketika ditelusuri untuk dituntaskan memerlukan upaya sangat serius. Begitu juga masalah terorisme. Masalahnya sangat kompleks, penyelesaiannya rumit. Bahkan lingkup masalahnya bersifat internasional. Makanya, kerja sama antara negara, berperan penting menuntaskan persoalan tersebut.

Indonesia wajib bersyukur. Sebab ASEAN Convention on Counter Terrorisme (ACCT) yang ditandatangi 13 Januari 2007, telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 2012. Di dalam ACCT tersebut, terdapat suatu semangat, siapa pun yang mendanai, merencanakan, memfasilitasi, dan melalukan tindakan teroris harus dicegah dan ditindak secara tegas. Dan upaya pencegahan tersebut, harus senantiasa dibumikan, supaya korban jiwa tidak ada lagi yang berjatuhan.

Bukan Pendidikan

Memang benar, tindakan seseorang bergantung pada pelajaran yang diserap serta pengalaman yang pernah dialaminya. Begitu juga tindakan para teroris, tindakan radikal (dalam arti negatif) yang dilakukannya, disumbang oleh kadar pengetahuan. Kendati demikian, pendidikan bukan menjadi penentu utama sesorang bertindak teror. Ada yang berpendidikan tinggi, dianggap mempunyai daya intelegensi luar biasa, menyebabkan perilaku yang menimbulkan ketakutan bagi orang banyak. Ada juga pendidikan biasa saja, melahirkan perilaku yang mengancam keberdaan orang banyak. Pernyataan ini senada dengan Harja Saputra, Tenaga Ahli Pansus RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (detik, 15/5/2018), dan Al Chaidar pengamat terorisme Universitas Malikussaleh (Republika, 29/4/2019).  Artinya, derajat pendidikan seseorang, tidak memberi pengaruh signifikan para perilaku kekerasan.

Dalam Journal of Terrorism Studies, dijelaskan paling tidak ada tiga sebab seseorang melakukan tindakan terorisme. Pertama, soal kepercayaan dan keyakinan. Kepercayaan dan keyakinan ini, tentu saja diasosiasikan dengan agama. Ada gerakan sekulerisme di Barat yang, berusaha memisahkan urusan agama dengan negara. Kelompok teroris ingin menggoyahkan gerakan sekuler tersebut, yaitu dengan berpegang pada perintah-perintah teks suci. Celakanya, dalam memahami teks suci itu, sering kali tidak diiringi pembacaan komprehensif. Biasanya hanya membaca secara tekstual, tanpa mau mengkaitkan dengan aspek lain dalam kitab suci itu. Contoh, janji tentang bidadari di surga.

Kemudian alasan yang paling terkenal, yakni upaya kekerasan tersebut adalah bentuk jihad. Mereka mempercayai dan memiliki keyakinan teguh terhadap jihad yang, harus selalu diasosiasikan dengan makna perang, membunuh orang yang berlain paham, selalu melakukan kekerasan pada orang yang bermaksiat. Makanya, ketika diperhatikan lagi, biasanya tindakan teror dilakukan di tempat antara lain; rumah ibadah, markas aparat penegak hukum, hotel, dan seterusnya.

Sebagai tambahan, kelompok ini biasanya meyakini bahwa agama, khususnya Islam, harus dikembalikan lagi di masa kejayaannya dulu, utamanya di masa ketika Islam menguasai dunia dengan segala kemajuannya. Itu sebabnya, segala hal-hal bertentangan dengan Islam, mesti disingkirkan dengan cara tidak bermoral. Padahal, dalam pandangan Hamid Fahmy Zarkasyi, kemajuan Islam dahulu disebabkan perdababan ilmu pengetahuan yang kemudian, Eropa (yang waktu itu tertinggal) belajar dan terinspirasi akibat khazanah ilmu dalam Islam yang luas. Dan, perdababan ilmu pengetahuan itu, dapat kita saksikan sampai sekarang. Jadi sebetulnya, tidak ada hubungannya antara kekerasan, dengan ingin menghidupkan kembali masa kejayaan Islam.

Kedua, perihal ideologi. Ternyata, ideologi mengarahkan seseorang dalam bertindak teror dan penuh kekerasan. Idelogi yang dianut yaitu berusaha menyebarkan agama yang suci dengan jalan-jalan kekerasan. Ini berkaitan dengan poin pertama di atas. Caranya dengan membuat semacam kelompok, dan memberi batasan yang jelas diantaranya. Mereka yang berada dalam kelompok, dianggap kelompok yang benar. Sementara di luar itu, harus masukan ke dalam kelompok. Caranya dengan melakukan framing. Sebagai penguat, tindakan upaya memasukan kelompok itu dilakukan dengan kekerasan, mengambil potongan ayat suci untuk melakukan pembenaran atas tindakan yang dilakukan.

Kekerasan itu sengaja dilakukan. Selain supaya diliput media masa, juga media komunikasi bagi kelompok-kelompok mereka. Tujuannya, memberi pengaruh pada masyarakat secara luas. Upaya framing tersebut ditujukan untuk mengkampanyekan apa yang disebut mereka dengan jihad individu, yakni satu orang mempengaruhi pihak lain, dan mengajarkan kekerasan pada yang lainnya, lalu mengeksekusi tindakannya dengan sendiri pula. Walaupun individu, sesungguhnya meraka dikontrol oleh jaringan yang lebih besar lagi di atasnya. Jadi, walaupun dia bertindak keras atas namanya sendiri, dia tidak menyadari apa yang dilakukannya sebetulnya didesain oleh organasasi yang lebih besar.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X