Seorang doktor teologi, selama nyaris tiga dekade di Papua, selain mengajar, Rainer Scheunemann juga melatih dan membina sepak bola, termasuk sepak bola putri.
Abdel Gamel Naser, Jayapura, Jawa Pos
BUAH hatinya tiga. Dan, nama ketiganya turut terabadikan dalam sejarah perkembangan sepak bola di Papua. Bukan sebagai pemain, melainkan untuk nama trofi kejuaraan sepak bola.
Jan’s Cup, Julia’s Cup, dan Ben’s Cup. Itulah cara Pdt Dr Rainer Scheunemann mencintai Papua dan sepak bolanya.
Cinta yang mulai bersemi saat putra seorang misionaris asal Jerman itu, dalam status mahasiswa, mengunjungi sejumlah gereja di Papua pada 1986. Dan, diwujudkannya pula dengan memberi dukungan kepada Persipura Jayapura tiap kali mereka bermain di Malang.
’’Mungkin saya satu-satunya suporter mereka di Malang waktu itu,” kenangnya seraya tertawa ketika ditemui Cenderawasih Pos di kediamannya di Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura, Papua, Kamis (15/4).
Putra dari Pdt Detmar dan Gisela Scheunemann itu lahir di Batu, Jawa Timur. Di sepanjang usianya, 43 tahun di antaranya dihabiskan di Indonesia. Dan, selama 26 tahun terakhir bekerja dan bermukim di Papua. ’’Keindahan alam dan keramahan warga Papua memikat saya,” katanya.
Yang juga memikat dia: antusiasme dan bakat sepak bola orang-orang Papua. Dulu, selepas kuliah di Jerman, dia memilih mengajar di Irian Jaya (Papua) mengingat dosen yang dibutuhkan ketika itu adalah S-3. Itu sesuai keinginannya bekerja di lokasi yang orang-orangnya membutuhkan pertolongan. Bukan di tempat yang sudah banyak orang bisa membantu.
Ketika mulai mengajar di STT Gereja Kemah Injili di Indonesia, hanya dia sendiri yang mengantongi gelar S-3. Beban mengajarnya otomatis tinggi. Anak ketiga dari lima bersaudara tersebut mengajar 10 mata kuliah. Tapi, di kampus ini pula, penulis dan penerjemah 32 buku itu mulai melatih sepak bola dengan pemain dari kalangan mahasiswa setempat.
Di Papua, khususnya Jayapura, ketika itu sudah banyak dihelat turnamen. Tapi, rata-rata selalu berakhir ricuh.
Rainer pun tergerak untuk menggelar turnamen, tapi dengan penerapan disiplin ketat. Dia menekankan semua tim agar bersikap fair. ’’Prinsip saya, jika ada lalat mengganggu kue, maka kita tidak mungkin menghancurkan kuenya, tapi lalatnya yang kita usir dan setiap tim harus menjaga keamanannya sendiri-sendiri,’’ katanya.
Doktor teologi tersebut menamakan ajang itu Jan’s Cup. Kejuaraan ini diikuti kalangan mahasiswa, berlangsung 1999–2005. Kemudian dilanjutkan Julia’s Cup pada 2001–2005. Dan, Ben’s Cup digelar pada 2002–2008 untuk kategori umur U-8, U-10, U-12, dan U-14.