Selama puluhan tahun, melalui seni, Mella Jaarsma menggambarkan berbagai realitas di Indonesia. Saat nonton wayang di Jogjakarta, setahun setelah kedatangannya yang pertama di Jakarta, dia menemukan jawaban tentang aspek penting bayangan dalam kehidupan.
BAGUS PUTRA PAMUNGKAS, Jogjakarta, Jawa Pos
PERDEBATAN itu mulai muncul ketika seorang seniman dengan sengaja menciptakan hijab dari bahan kulit katak. Bagaimana bisa kulit katak dipakai sebagai bahan hijab? Apakah hijab itu masih bisa digunakan untuk beribadah?
Beragam pertanyaan muncul. Malah, orang-orang yang hadir di pameran berdebat satu sama lain. Sang seniman, Mella Jaarsma, tidak berusaha mendamaikan. Dia malah senang akan kondisi itu. Dan, membiarkan semua orang menyampaikan persepsinya. ”Saya seniman yang ingin membangun semacam dialog. Semua punya persepsi masing-masing,” kata Mella saat ditemui Jawa Pos di kediamannya di Jogjakarta.
Dari karya yang dibuat pada 1998 itu, Mella langsung mendapat undangan ke Brisbane, Australia. Di situ dia menampilkan pameran dengan tema Hi Inlander!.
Mella membuat empat baju dari empat kulit hewan: kanguru, katak, ayam, dan ikan. Dia yakin setiap orang pasti punya persepsi berbeda pada setiap bahan. Lagi-lagi, pertunjukannya itu memunculkan perdebatan.
”Misal di Australia, mereka pasti marah kalau kulit kanguru dipakai bahan baju,” jelas wanita 60 tahun itu. Tapi, di belakang keempat busana, Mella ternyata sudah menyiapkan empat daging dari jenis kulit empat hewan tersebut. Para pengunjung kemudian bebas memasak. ”Dari situ terjadi dialog. Mereka berbagi informasi mengapa di Australia kulit kanguru dilarang digunakan sebagai bahan baju. Itu akhirnya menjadi pembelajaran,” terang wanita kelahiran Emmelord, Belanda, tersebut.
Bukan kali itu saja Mella membuka mata warga dengan karyanya. Tepat sebelum hijab katak dan Hi Inlander! ditampilkan, Mella pernah menggelar pameran bertajuk Pribumi.
Pameran itu digelar di jalanan Malioboro, Jogjakarta, pada 3 Juli 1998. Mella bersama kawan-kawannya memasak daging katak alias swike. Kemudian membagikan kepada warga. Mella lalu menjelaskan bahwa katak adalah hewan ”pribumi” yang menjadi salah satu favorit etnis Tionghoa.
Tidak banyak warga yang mau memakan swike itu. ”Tapi, dialog kemudian terjadi. Banyak warga yang membuka mata bahwa telah ada kekerasan kepada etnis Tionghoa pula di Jogja. Dari situ mereka mulai memahami kepedihan yang dirasakan etnis Tionghoa,” jelas Mella.
Pada Mei 1998 memang ada kerusuhan besar di Jakarta. Banyak warga keturunan Tionghoa yang menjadi korban pembunuhan dan pemerkosaan. Tragedi yang memicu trauma panjang, bahkan sampai sekarang.
Setelah itu, Mella konsisten menyoroti kejadian yang tengah booming. ”Semua karyaku berangkat dari realitas di Indonesia. Bisa berhubungan dengan masalah sosial, politik, hingga kejadian sehari-hari,” katanya.
Pada 2009, misalnya, peraih gelar John D. Rockefeller 3rd Award, New York, itu membuat pameran bertajuk Zipper Zone. Setahun sebelumnya atau pada 2008, pemerintah baru saja meresmikan UU Pornografi.