Bila Indonesia kembali memberangkatkan haji tahun ini, biayanya sudah dipastikan naik. Beda dengan haji reguler yang penambahan biayanya dibebankan ke pemerintah. Sementara haji khusus mau tak mau dibebankan ke jamaah.
SESUAI dengan amanah undang-undang, pemerintah tetap mengalokasikan kuota untuk haji khusus. Plt Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama (Kemenag) Khoirizi H Dasir mengatakan, berapa pun kuota haji dari Saudi, dialokasikan 8 persen untuk haji khusus.
Namun, sayangnya dari pihak penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK) atau travel, mereka mengaku cukup berat memberangkatkan haji khusus di tengah pandemi. Sebab, ada potensi kenaikan biaya haji yang luar biasa. Ketua Umum Sarikat Penyelenggara Haji dan Umrah Indonesia (Sapuhi) Syam Resfiadi memperkirakan kenaikan ongkos haji khusus di tengah pandemi berkisar 25–35 persen dari harga paket.
Bos travel Patuna itu mengatakan rata-rata harga paket haji khusus USD 17.500 atau Rp 255 juta/orang. Dengan adanya sejumlah ketentuan protokol kesehatan, dia memperkirakan kenaikan biaya haji khusus bisa sampai Rp 80 jutaan/orang. “Kenaikan harga ini tentu berat bagi sebagian calon jamaah haji khusus,” kata Syam, kemarin (14/4).
Dia menuturkan, potensi kenaikan biaya haji khusus sampai Rp 80 juta itu disebabkan sejumlah faktor. Seperti satu kamar maksimal diisi dua jamaah. Kemudian, wajib jaga jarak minimal 1,5 meter di tenda di Arafah dan Mina.
Kemudian, adanya kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) di Saudi, kapasitas bus maksimal 50 persen, dan tidak ada mutawif atau pembimbing haji dari Saudi. Sehingga wajib membaca kru pembimbing dari Tanah Air.
Menurut dia, para calon jamaah haji khusus saat ini serba-repot. Ingin berangkat haji di tengah pandemi dengan segala konsekuensi protokol kesehatan, dibebani kenaikan biaya cukup besar. Sebaliknya jika mereka mundur, jumlah jamaah khusus semakin sedikit. Akibatnya biaya semakin tinggi, karena jamaahnya sedikit.
Untuk itu, Syam menyarankan sebaiknya pemerintah menunda atau meniadakan haji plus–nama lain haji khusus–di tengah pandemi. Pertimbangannya karena beban tambahan biaya yang tinggi. “Haji khusus bisa dijalankan kembali ketika kondisi kembali normal seperti 2019 lalu,” kata dia.
Terkait opsi subsidi atau bantuan dari pemerintah, Syam mengatakan sangat kecil kemungkinannya. Sebab, akan menjadi beban bagi Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Selain itu tidak mungkin mendapatkan subsidi dari APBN. Solusi paling mudah adalah menunda dahulu pemberangkatan haji plus sampai kondisi kembali normal.
Sementara itu, Plt Dirjen PHU Kemenag Khoirizi H Dasir mengatakan hingga kini belum ada negara yang mendapat informasi dari Arab Saudi terkait kepastian pemberangkatan jamaah haji. Meski demikian, persiapan pun terus dilakukan. Sebab itu, pihaknya saat ini sedang mematangkan rumusan mitigasi risiko penyelenggaraan haji khusus pada masa pandemi bersama Asosiasi Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).
Dia menjelaskan, hal tersebut perlu dibahas dalam penyiapan proses mitigasi. Hal itu antara lain mencakup opsi dan skenario penyelenggaraan ibadah haji berdasarkan asumsi kuota, skema penerbangan, apakah memberlakukan transit atau langsung, termasuk juga terkait karantina.
Khoirizi yang juga direktur Bina Haji Kemenag itu menuturkan, mitigasi itu juga mencakup perhitungan biaya protokol kesehatan dan skema pembiayaannya.
Adapun biaya haji reguler sudah ditetapkan pekan lalu. Hasil rapat antara Komisi VIII DPR bersama BPKH diputuskan, dari kuota jamaah reguler hanya 25 persen, biaya haji tahun ini Rp 87,51 juta.