Covid-19 Tak Terkontrol, Presiden Brasil Tolak Lockdown

- Kamis, 8 April 2021 | 10:53 WIB
Seorang warga lanjut usia memegang kertas bertuliskan:
Seorang warga lanjut usia memegang kertas bertuliskan:

BRASILIA– Presiden Brasil Jair Bolsonaro banjir kecaman. Oposisi menuding dia melakukan genosida. Sebab, pemimpin 66 tahun tersebut menolak lockdown dan pembatasan Covid-19 yang ketat. Padahal, saat ini angka kematian harian di Brasil terus meroket. Pada Selasa (6/3), 4.195 orang meninggal. Itulah angka tertinggi sejak pandemi melanda Negeri Samba pada Februari tahun lalu.

Saat ini Brasil duduk di posisi kedua sebagai negara dengan angka kematian Covid-19 tertinggi. Jumlah penduduk yang meninggal sudah mencapai hampir 337 ribu orang. Para pakar memprediksi bulan ini 100 ribu nyawa bisa melayang jika tidak ada langkah serius yang diambil. ’’Ini seperti reaktor nuklir yang memicu reaksi berantai dan di luar kendali. Ini adalah Fukushima biologis,” ujar profesor di Duke University, AS, Miguel Nicolelis. Dia menyamakan situasi di Brasil saat ini seperti insiden bom nuklir di Fukushima.

Meski begitu, Bolsonaro justru menentang keras lockdown. Padahal, saat ini mayoritas rumah sakit di Brasil sudah kewalahan menerima pasien. Dia bahkan mengejek pemimpin negara bagian yang memberlakukan lockdown. Bolsonaro tidak mau disalahkan atas situasi di negaranya.

’’Mereka menyebut saya homofobik, rasis, fasis, penyiksa, dan sekarang apa? Sekarang saya seseorang yang membunuh banyak orang? Genosida! Sekarang saya melakukan genosida,’’ tegasnya di luar Istana Kepresidenan di Brasilia pada Selasa malam lalu seperti dilansir CNN.

Dia menegaskan, lockdown justru membuat orang-orang tidak sehat. Versi Bolsonaro, pandemi ini dibuat media. Dia merasa bisa menyelesaikan masalah Covid-19 dengan mengucurkan uang pada media.

Lonjakan kasus juga terjadi di Cile. Bahkan, gara-gara itu, pemilu lokal, regional, dan pemilihan majelis konstitusi terpaksa ditunda. Seharusnya pemilihan majelis yang merancang undang-undang di Cile itu diadakan pada 10–11 April, tetapi kini dijadwal ulang pada 15–16 Mei.

Pada Selasa lalu, total ada 1.037.780 kasus Covid-19 dan 23.734 kematian di negara tersebut. Okupansi ICU sudah mencapai 96 persen. ’’Saya rasa tidak bijaksana untuk menggelar pemilu pekan ini,’’ kata Presiden Cile Sebastian Pinera.

Dari Asia, Korea Selatan (Korsel) juga mengalami peningkatan kasus. Muncul 668 kasus baru pada Selasa lalu, tertinggi sejak 8 Januari. Badan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea (KDCA) mengungkapkan bahwa klaster baru muncul di TK, sauna, bar, serta gereja. Mayoritas berada di Seoul dan kota-kota di sekitarnya.

Situasi serupa menimpa Kamboja. Enam pekan lalu Kamboja menjadi negara dengan persentase kasus Covid-19 terkecil di dunia. Namun, semua berubah pada Februari lalu ketika kasus penularan dan kematian terus merangkak. Bulan lalu 22 orang meninggal dan kasus baru melonjak lima kali lipat menjadi 2.824 kasus.

Sebanyak 1.003 pasien saat ini dirawat di rumah sakit. Sebagian besar rumah sakit nyaris penuh. ’’Kami tidak dapat menerima semua pasien jika kasusnya meningkat lebih jauh,’’ jelas Perdana Menteri (PM) Kamboja Hun Sen.

Menurut dia, orang-orang yang sembuh lebih sedikit daripada yang masuk ke rumah sakit. Kalau toh negara tersebut membangun rumah sakit darurat, jumlahnya tetap tidak akan cukup. Dia meminta para pejabat kesehatan membuat aturan supaya mereka yang gejalanya ringan dirawat di rumah saja. Kementerian Kesehatan belum memberikan komentar soal itu.

Bertambahnya kasus bisa menambah masalah baru. Sebab, mereka yang sudah sembuh dari korona pun masih memiliki efek jangka panjang. Hasil penelitian di Inggris menunjukkan bahwa penyintas Covid-19 memiliki peluang yang lebih besar menderita depresi, demensia, psikosis, dan stroke.

Karena situasi yang belum membaik di berbagai negara, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum sepakat dengan penggunaan paspor vaksin untuk melakukan perjalanan lintas negara. Sebab, masih ada ketidakpastian vaksin itu benar-benar bisa mencegah penularan virus. Masalah lainnya adalah sisi keadilan bagi mereka yang belum bisa mendapatkan vaksin.

’’Pada tahap ini, kami tidak ingin melihat paspor vaksin sebagai persyaratan untuk masuk atau keluar (negara) karena saat ini belum yakin bahwa vaksin tersebut dapat mencegah penularan,’’ terang Juru Bicara WHO Margaret Harris. Belakangan, banyak negara yang ingin mengeluarkan paspor vaksin agar kondisi perekonomian kembali menggeliat. (sha/c14/bay)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X