JAKARTA- Untuk pertama kali, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan keputusan penghentian penyidikan perkara. Kasus yang dihentikan terkait dugaan korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) obligor bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Sjamsul Nursalim. Penyidikan tersebut dimulai pada Mei 2019 lalu.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan penghentian penyidikan itu merujuk pasal 40 UU KPK (hasil revisi). Di ayat 1 pasal itu menyebutkan KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara (surat perintah penghentian penyidikan/SP3) yang tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 tahun. "Penghentian penyidikan ini sebagai bagian adanya kepastian hukum dalam proses penegakan hukum," kata Alex (1/4).
Dugaan korupsi obligor BLBI ditangani KPK sejak 2 Oktober 2019. KPK menerapkan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor. Sebelum Sjamsul dan istrinya, KPK lebih dulu menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka. Dalam perkara ini, Sjamsul merupakan pemegang saham pengendali (PSP) Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), obligor BLBI.
Sejak 9 Agustus 2018, KPK melakukan penyelidikan proses pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI selaku obligor BLBI kepada BPPN tersebut. Kemudian pada 13 Mei 2019 KPK menerbitkan surat perintah penyidikan dengan tersangka Sjamsul dan istrinya dengan bukti permulaan yang cukup dari hasil pengembangan penanganan penyidikan Syafruddin.
Di sisi lain, pada 9 Juli 2019, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi Syafruddin yang isinya membatalkan putusan banding Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. MA juga menyatakan bahwa perbuatan Syafruddin sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) KPK tidak merupakan suatu tindak pidana. Syafruddin pun dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging).
Jaksa eksekutor KPK kemudian melaksanakan putusan itu dengan mengeluarkan Syafruddin dari rumah tahanan negara (rutan) KPK pada 9 Juli 2019. Kemudian, pada 17 Desember 2019 KPK mengajukan upaya peninjauan kembali (PK) atas putusan kasasi tersebut. Namun, pada 16 Juli 2020 permohonan itu ditolak dengan alasan yang sama. Yakni perbuatan Syafruddin bukan merupakan tindak pidana.
"Maka KPK meminta pendapat dan keterangan ahli hukum pidana yang pada pokoknya disimpulkan bahwa tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh KPK (setelah putusan PK, Red)," ungkap Alex. Dari putusan itu, KPK berkesimpulan syarat adanya perbuatan Penyelenggara Negara dalam penyidikan Sjamsul dan istrinya tidak terpenuhi.
"Tersangka SN (Sjamsul Nursalim) dan ISN (Itjih) berkapasitas sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan bersama-sama dengan SAT (Syafruddin) selaku penyelenggara negara," imbuh Alex. Sampai saat ini, Sjamsul dan istrinya belum pernah memenuhi panggilan KPK. Keduanya kini tengah berada di luar negeri. (tyo)