Berkaca dari hal itu, Samad menuturkan, perguruan tinggi juga bisa membuat code of conduct atau kode etik agar orang yang berada civitas akademika itu tetap bisa mempertahankan institusi pendidikan. “Sebagai institusi yang menjadi role model yang tidak boleh memberikan ruang terhadap pelanggaran sekecil apapun,” kata dia.
Hal itu dibuat sedemikian rupa, supaya KPK menjadi organisasi yang bisa dicontoh. Dan KPK tetap menjaga muruahnya sebagai organisasi penegak hukum. Hal itu yang menjadi kelebihan dari KPK dari segi code of conduct. Jadi, jika ingin membangun integritas organisasi, yang paling inti adalah memberlakukan code of conduct yang sangat tegas.
Dengan begitu, ucap dia, orang-orang dari organisasi itu tidak akan mungkin melakukan pelanggaran sekecil apapun. “Karena pelanggaran sekecil apapun, kalau sifatnya moralitas itu adalah pelanggaran yang sifatnya corrupt yang tidak dapat ditoleransi,” tegasnya.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar Prof Farida Patittingi yang juga didaulat menjadi pembicara menyebut, korupsi memiliki keterkaitan dengan kuasa pengelolaan perguruan tinggi. Dengan kekuasaan, pemimpin memiliki pengaruh dan kekuatan dalam pengambilan keputusan. Serta menjadi cikal-bakal korupsi kekuasaan.
Apalagi, kata dia, tren pelaku tindak pidana korupsi saat ini bukan hanya milik pejabat negara, politikus, kepala daerah, birokrasi, dan pihak swasta. “Tetapi korupsi juga berpotensi besar bersemai dan tumbuh subur di perguruan tinggi serta dilakukan oleh pimpinan perguruan tinggi,” tuturnya.
Berdasarkan sumber media yang diolahnya hingga September 2020, ada 11 profesor dan 200 doktor yang melakukan tindak pidana korupsi. Sebab, korupsi itu dilakukan oleh siapa pun. Dan kondisi paradoksial yang saat ini terjadi, perguruan tinggi seharusnya mencetak generasi yang memadukan kecerdasan intelektual dengan integritas moral yang kuat.