Kuliah Tamu Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di Fakultas Hukum Unmul, Ternyata Koruptor Itu Rata-Rata Sarjana

- Jumat, 2 April 2021 | 10:17 WIB
Wakil Ketua KPK RI Dr Nurul Ghufron
Wakil Ketua KPK RI Dr Nurul Ghufron

Titip absensi, plagiasi, hingga pengajuan proprosal kegiatan mahasiswa yang menggelembungkan kebutuhan dana adalah bibit awal korupsi.

 

“TERNYATA, koruptor itu 86 persen ke atas alumni perguruan tinggi. Mestinya, semakin tinggi ilmu seseorang, karakternya semakin beradab, semakin berintegritas.” Kalimat itu diungkapkan Wakil Ketua KPK RI Dr Nurul Ghufron dalam kuliah umum pendidikan antikorupsi di Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda yang digelar secara daring, Rabu (31/3).

“Ternyata koruptor itu rata-rata sarjana,” lanjut Ghufron menyampaikan data. Temuan KPK itu menjadi tamparan bagi perguruan tinggi. Termasuk Unmul yang harus bertanggung jawab. Rupanya, sambung dia, sumbangsih perguruan tinggi terhadap negara tidak semuanya bagus. Menurutnya, Unmul harus memusuhi segala praktik korup karena 86 persen koruptor yang ditangkap KPK adalah alumni perguruan tinggi.

Di lingkungan kampus, lanjut pria yang pernah pernah menjabat dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Jawa Timur itu, perilaku tidak jujur yang memicu timbulnya karakter korup seperti mahasiswa mencontek saat ujian. Contoh lain, memberikan hadiah kepada dosen agar mendapat nilai tinggi. Termasuk menitip absen. “Dia tidak hadir, tapi di absen ada. Ini mahasiswa hantu. Ini perilaku yang tidak jujur. Kalau dari masa pendidikan saja tidak jujur, alumninya tidak bisa diharapkan,” ungkapnya.

Adapun korelasi perilaku menitip absen dengan korupsi, yakni kepalsuan. Contohnya, saat menggarap proyek senilai Rp 1 miliar, banyak kuitansi yang di-mark-up, sehingga dana pembangunan membengkak. Ghufron melanjutkan, pencegahan dan pemberantasan korupsi seperti dua sisi mata uang. Keduanya mesti tersinergis berjalan beriringan agar sampar rasuah bisa teratasi hingga akar. Pada 2020, poin Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia sebesar 37 dan berada di urutan 102 dari 180 negara. Semakin rendah skor yang didapat, menandakan semakin rentan korupsi terjadi. Melorotnya posisi ini dinilai Ghufron tak sekadar pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Dari sembilan sumber data pengukur IPK, tiga klaster yang terbilang cukup berdampak dan justru menjadi kultur bagi masyarakat negeri ini.

“Pertama, iklim usaha. Semua tahu masih banyak pengusaha dari sektor paling rendah hingga investor besar justru tak mau repot, sehingga peluang suap atau gratifikasi tumbuh subur jadi rahasia umum,” ucapnya. Kedua, birokrasi dan penegakan hukum. Di klaster ini, lanjut dia, pemerintahan dan aparatur penegak hukum masih rentan tergiur memanfaatkan kuasa yang dimilikinya dan permisif ketika ada upaya pihak lain yang menginginkan impak dari kuasanya tersebut. Terakhir, demokrasi Indonesia yang sejauh ini belum banyak menunjukkan kepentingan publik.

Alhasil, pesta demokrasi hanya menghasilkan kepala daerah yang berujung tersangkut kasus korupsi. Sepanjang 2004–2020, terdapat 129 bupati atau wali kota dan 21 gubernur se-Indonesia yang ditangani KPK karena terlibat korupsi beserta turunannya, suap atau gratifikasi. “Pemilu yang berat diongkos sering menjadi dasar kepala daerah terpilih itu berakhir korupsi,” sambungnya. Politik uang misalnya. Meski mahfum hal itu salah, masyarakat cenderung justru menunggu akan hadirnya dan dicap sebagai bentuk kemeriahan pesta demokrasi. Memandang korupsi, lanjut dia, bisa dianalogikan serupa Covid-19.

Sama-sama pagebluk yang berbahaya. Yang jadi pembeda, Covid-19 semua pihak bersinergis memberantas bersama-sama. Namun, korupsi tak demikian, masih ada yang setengah hati memberantas lantaran ada kenikmatan yang terselip bagi pelaku dan lingkarannya. “Orientasi para pelaku selalu privat, kepentingan sendiri dan lingkarannya. Tentunya, memanfaatkan semua jabatan publik yang punya kuasa ke keuangan negara atau daerah,” tegasnya. Melorotnya IPK Indonesia dari yang semula berada di posisi 85 pada 2019 lalu memang disebabkan lantaran menurunnya integritas di Bumi Pertiwi.

Profesionalitas teramat mudah dan jamak ditemui. Profesional tapi tidak jujur, kata Ghufron. Padahal, untuk memberangus rasuah profesional dan berintegritas haruslah beriringan. Data yang dimiliki KPK, perilaku korupsi justru dimanfaatkan karena profesional yang tinggi namun tak jujur. Dari 1.262 koruptor yang ditangani KPK sejak berdiri pada 2004 silam, 86 persen pelaku justru mendapat pendidikan berkecukupan alias mengenyam pendidikan perguruan tinggi. Perilaku lucah ini sudah muncul sejak di bangku perkuliahan.

Ghufron menyentil dan mencontohkan, titip absensi, plagiasi, hingga pengajuan proposal kegiatan mahasiswa yang menggelembungkan kebutuhan dana jelas jadi bibit awal. Apalagi korupsi terjadi karena hal dasar seperti ini dianggap lumrah. “Bahkan, ada juga mahasiswa yang memberi hadiah ke dosen agar mendapat nilai yang bagus. Di beberapa kasus bahkan dosennya yang meminta karena mereka punya kuasa. Kultur seperti ini yang perlu dicabut,” katanya. Padahal, upaya menginsersi hal fundamental ini bisa berubah lewat tahap preventif berupa koordinasi dan supervisi pencegahan. Sumbangsih kampus akhirnya tercoreng. Meski tak semua, tapi dari secuil nila setitik ini yang merusak sumbangsih perguruan tinggi sebelanga.

Melihat korupsi tak bisa parsial sekadar menangkap koruptor lalu menjebloskannya. Pencegahan atau preventif jadi langkah awal untuk membangun kesadaran. Represif atau penindakan jadi langkah memberi efek jera dan terakhir kuratif, menyembuhkan kunat rasuah yang membekas di tubuh negeri ini. “Menangkap itu tak menyelesaikan masalah. Selama sistem dan kesadaran masyarakat yang punya imun korupsi tak terbangun,” tuturnya. Sejauh ini, besaran pidana penjara yang diberikan lewat palu hakim tak menjamin perilaku korup tercerabut dari akarnya. Masyarakat sering menyoal mengapa vonis yang diberikan tak sebanding dengan apa yang diperbuat pelaku.

Padahal, menangani korupsi tak seperti Kode Hammurabi yang bersifat lex talionis atau hukum retributif yang pidananya harus setimpal sebagai pembalasan atas ulah tersebut. Seperti pepatah mata dibayar dengan mata. “Hal ini bisa saja terjadi, tapi masalah lain akan timbul siapa yang mengganti kerugian negara ketika pelaku mendapat ganjarannya seperti ini. Perlu kebijakan penindakan hukum yang lebih utilitif atau bermanfaat. Bisa pula menggabungkan kedua format itu hukum retributif dan utilitif dengan bentuk memiskinkan seperti yang diterapkan sejauh ini,” tukasnya. (ryu/riz/k16)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X