SAMARINDA–Pengawasan pembangunan Pasar Baqa yang dihandel Andi Prastio dilakukan tak profesional. Tenaga ahli yang mengevaluasi hingga kelayakan serah-terima pekerjaan sepenuhnya melanggar kontrak kerja sama rekanan dan pemerintah.
Ditegaskan Edyamsah selaku Auditor BPK RI, dan Andi Arpan dari lembaga kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam persidangan virtual di Pengadilan Tipikor Samarinda (30/3).
Keduanya dihadirkan JPU Subandi sebagai ahli dalam sidang lanjutan korupsi pembangunan Pasar Baqa yang menyeret konsultan pengawas proyek senilai Rp 18 miliar, Andi Prastio. “Administrasinya jelas melanggar Perpres 172/2014,” ucap Andi Arpan memberikan keterangan di depan majelis hakim yang dipimpin Joni Kondolele itu.
Pelanggaran yang dimaksudnya itu antara lain, pengadaan barang dan jasa ditangani satu pihak dengan sistem pinjam bendera perusahaan, tenaga ahli pemeriksaan mutu pekerjaan tak sesuai kontrak, dan pekerjaan belum selesai 100 persen namun sudah dilakukan serah terima. Dari rekanan yang mengerjakan hingga konsultan pengawas terbukti ditangani satu pihak tertentu.
Rekanan yang mengerjakan dihandel Said Syahruzzaman, menggunakan tiga bendera perusahaan, PT Sumber Rezeki Abadi, PT Duta Wahana Utama, dan PT Fakendo Utama. Sementara konsultan pengawas, terdakwa dalam kasus ini melakukan hal serupa dalam pekerjaan yang terbagi dalam tiga mata anggaran tersebut. Di APBD Perubahan 2014 terdakwa menggunakan CV Pilar Perdana, APBD 2015 dengan CV Arsindo Karya Utama, dan APBD Perubahan 2015 kembali menggunakan CV Pilar Perdana. “Bahkan serah-terima pekerjaan sudah dilakukan namun pekerjaan masih sempat berjalan,” sambungnya.
Edyamsyah menerangkan, jika dari total Rp 18 miliar yang digelontorkan untuk pembangunan gedung pasar tersebut, BPK sempat mengaudit investigasi berbekal permintaan Kejari Samarinda untuk menentukan kerugian negara. Audit itu juga memanggil pihak-pihak terkait untuk mengetahui proses yang ada selain dokumen penyidikan dari kejaksaan. “Selain itu, kami memeriksa mutu pekerjaan proyek,” ungkapnya ketika bersaksi.
Dari total biaya, BPK menilai ada ketidak wajaran pembiayaan senilai Rp 5 miliar yang dinilai jadi kerugian negara dari pekerjaan yang sudah rampung tersebut. Jumlah itu, khusus pekerjaan. Untuk pengawasan, kerugian negara sebesar Rp 33 juta. Nilai itu berasal dari penyimpangan kontrak pengawasan dengan menggunakan tenaga ahli pengawasan pekerjaan yang tak sesuai spesifikasi kontrak. “Tapi ada peran pengawasan yang tak maksimal, membuat munculnya kerugian Rp 5 miliar tersebut,” paparnya.
Selepas kedua ahli bersaksi, majelis hakim kembali mengagendakan persidangan akan kembali digelar pekan mendatang dengan agenda pemeriksaan terdakwa. Untuk diketahui, dari kasus tersebut, tiga orang sudah diadili, 2020 lalu.
Mereka, Sulaiman Sade, mantan kepala Dinas Pasar Samarinda, sudah divonis delapan tahun pidana penjara atas kasus tersebut. Miftahul Khoir, pejabat pelaksana teknis kegiatan/PPTK, divonis enam tahun pidana penjara, dan Said Syahruzzaman, rekanan, divonis sembilan tahun pidana penjara. (ryu/dra/k8)