Dari lagu-lagu romantis-puitis Kla Project semasa sekolah, dunia advokasi menggerakkan Asfinawati menulis karya-karya tentang kebobrokan sistem hukum, kerakusan manusia, hingga kerusakan lingkungan.
AGUS DWI PRASETYO, Jakarta, Jawa Pos
ASFINAWATI menghadap piano. Perlahan suara ketua umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu terlantun sembari jemarinya menekan tuts.
”Kumendekat melihat cahaya terang hangat menyeru kemanusiaan...”
Cahaya, demikian judul lagu itu, ditulis Asfinawati untuk Munir pada 2008. Hanya empat tahun setelah aktivis kelahiran Batu, Jawa Timur, tersebut tewas karena diracun dalam perjalanan udara menuju Amsterdam, Belanda. Asfin, sapaan akrab Asfinawati, adalah anggota tim advokasi yang berjuang mengungkap dalang peristiwa itu.
”Pas bikin lagu itu (Cahaya, Red), saya merasa hukum nggak bekerja,” kenangnya tentang lagu yang masuk 10 besar karya terbaik dalam sayembara cipta lagu untuk Munir tersebut.
Musik menjadi bagian dari keseharian Asfin jauh sebelum dirinya berkecimpung dalam advokasi hukum. Bermodal kemampuan bermain piano, perempuan 43 tahun itu telah lumayan banyak menciptakan lagu. Kebanyakan merupakan karya instrumental.
Cahaya lagu pertama yang menggunakan lirik. ”Mulai ciptain lagu (instrumental) waktu SMP,” tutur alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) tersebut ketika ditemui di kantor YLBHI, Jakarta.
Adalah kakak pertamanya, M. Asranur, yang membuatnya tertarik dengan musik. Semenjak kecil, Asfin kerap melihat Asra –panggilan Asranur– bermain piano di rumah.
Hingga sekarang pun Asra menekuni musik secara profesional. Beberapa kali dia manggung bersama Efek Rumah Kaca (ERK).
”(Dulu) bangun tidur pun langsung dengerin dia main piano,” kata Asfin.
Sejak SMP hingga kuliah, Asfin kerap bergabung dalam band. Lagu-lagu Kla Project yang romantis-puitis paling sering dimainkan bersama bandnya.
