Suntik Hati

- Sabtu, 27 Maret 2021 | 10:49 WIB

Bambang Iswanto

Dosen Institut Agama Islam Negeri Samarinda

 

 

SAAT ini ramai dibicarakan tentang vaksin Covid-19 yang dilakukan dengan injeksi intramuskular. Kalau tidak familier dengan istilah kedokteran tersebut, bahasa gampangnya vaksin Covid-19 dengan cara suntik. Menjadi tema hangat karena rentang waktu vaksinasi bersinggungan dengan Ramadan.

Banyak pertanyaan yang muncul, bagaimana hukum divaksin saat berpuasa? Batal atau sah puasanya? Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengantisipasinya dengan mengeluarkan Fatwa Nomor 13 Tahun 2021. Tidak batal puasa orang yang divaksin melalui suntikan.

Muara persoalan sebenarnya adalah memasukkan sesuatu ke tubuh, sering dianalogikan seperti makan yang juga memasukkan sesuatu ke tubuh berupa makanan.

Ijtihad MUI tentang hukum disuntik bulan puasa diharapkan mengakhiri polemik tentang batal atau tidaknya divaksin ketika berpuasa. Mudah-mudahan tetap ada jalan tengah bagi orang yang tidak sepakat dengan fatwa MUI yakni dengan pelaksanaan waktu vaksin pada malam hari.

Tulisan kali ini sebenarnya bukan membahas suntikan yang berwujud fisik seperti vaksin di atas. Ada suntikan lain pada Ramadan yang bisa jadi lebih penting dari suntikan vaksin untuk antibodi tubuh tersebut yaitu menyuntik hati atau jiwa.

Hati harus disuntikkan sesuatu yang menjadi obat agar menimbulkan reaksi kekebalan jiwa terhadap hal-hal yang dilarang agama. Dengan injeksi ini, hati menjadi bersih. Hati yang selamat dari berbagai penyakit dan kerusakan yang hanya berisi kecintaan kepada Penciptanya dan takut melaksanakan hal-hal yang menjadikannya jauh dari Allah.

Hati bersih berbeda dengan model hati lain yang dimiliki manusia yaitu hati yang sakit dan mati. Hati yang selalu mengikuti hawa nafsu dan kesenangan.

Sebenarnya tidak sulit mendeteksi hati seseorang telah mati secara kasatmata. Ibnu ‘Athaillah dalam Al-Hikam-nya memberikan indikator orang yang telah mati hatinya dengan tidak merasa bersalah atas dosa kelalaian beribadah dalam hidupnya. Beliau menggambarkan bahwa orang yang lalai dalam ibadah serta kebaikan terhadap Allah ini, hidupnya seperti tawar. Tidak merasakan kebahagiaan atau keresahan.

Ketaatan tidak membuat orang yang mati hatinya menjadi bahagia. Sebaliknya kemaksiatan tidak membuatnya menjadi resah.

Sufi terkenal Hasan al-Bashri memberikan ciri matinya hati dengan selalu mengikuti jalan-jalan keburukan. Sementara orang yang hatinya hidup selalu berupaya menempuh jalan kebaikan dan menghindar perbuatan dosa serta senantiasa memohon ampun atas dosa-dosanya pada masa lampau.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X