Rasio Utang 38 Persen terhadap PDB, Pembiayaan Andalkan Penerimaan Pajak

- Kamis, 25 Maret 2021 | 10:51 WIB
ilustrasi
ilustrasi

JAKARTA– Pemerintah mencoba berbagai cara untuk meredam gejolak keuangan akibat pandemi Covid-19. Serangkaian kebijakan yang telah berjalan membawa konsekuensi yang juga perlu dihadapi. Apalagi, dampaknya terasa pada pembiayaan keuangan negara. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan bahwa rasio utang RI masih terbilang rendah. ”Rasio utang terhadap PDB Indonesia masih pada kisaran 38 persen. Masih relatif rendah, tetapi harus diperhatikan,’’ ujarnya dalam Fitch Indonesia Conference 2021 (24/3).

Menurut Ani, sapaan Sri Mulyani, APBN telah menjalankan perannya sebagai mekanisme countercyclical dalam menjaga pertumbuhan ekonomi. Pemerintah juga telah melebarkan defisit APBN di atas 3 persen.

Jika dibandingkan dengan negara-negara lain pun, rasio utang RI masih terbilang kecil. Negara lain yang dimaksud, antara lain, Amerika Serikat (AS) dan Prancis. Rasio utang setiap negara itu 131,2 persen dan 118,7 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) (selengkapnya lihat grafis).

Kendati demikian, Ani mengimbau pemerintah untuk terus mewaspadai dinamika-dinamika ekonomi yang muncul. Termasuk kenaikan imbal hasil atau yield obligasi AS (US treasury) dengan tenor 10 tahun.

Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu menambahkan bahwa berbagai kebijakan di Negeri Paman Sam akan berimbas ke seluruh dunia. Tentu saja, termasuk Indonesia yang merupakan bagian dari emerging market.

Kenaikan yield US treasury itu juga mendorong obligasi RI tenor 10 tahun naik menjadi 11 persen. Meskipun, kepemilikan asing pada obligasi pemerintah saat ini lebih rendah ketimbang saat taper tantrum pada 2013.

”Pada saat itu taper tantrum (kepemilikan asing di obligasi, Red) mencapai 38 persen. Sekarang sudah di bawah 30 persen. Dan saat ini masih terus meningkatkan kepemilikan bond dari kalangan domestik. Baik ritel maupun institusi,’’ papar Ani.

Sebelumnya, Wamenkeu Suahasil Nazara menegaskan bahwa pemerintah selalu berhati-hati dalam menerbitkan surat berharga negara (SBN). Beberapa lelang SBN oleh Kemenkeu mencatatkan realisasi yang rendah. Padahal, kebutuhan pembiayaan pada tahun ini cukup besar. Itu seiring dengan pelebaran defisit anggaran menjadi 5,7 persen terhadap PDB.

Dengan kondisi tersebut, pemerintah harus betul-betul cermat mengelola kebutuhan pembiayaan. ”Kami mengelola se-prudent mungkin. Kami betul-betul memperhatikan pasar dan mencari titik-titik kami masuk ke pasar,’’ kata Suahasil.

Dengan demikian, mau tak mau, pemerintah tidak hanya memenuhi pembiayaan dari utang, tetapi juga dari penerimaan perpajakan sebagai sumber utama pembiayaan APBN.

Realisasi pembiayaan APBN pada Februari 2021 tercatat Rp 273,1 triliun. Atau, setara dengan 27,1 persen dari target defisit anggaran yang tercatat Rp 1.006,4 triliun. Dari pembiayaan itu, mayoritas telah terpenuhi melalui penerbitan SBN (neto) Rp 271,4 triliun atau 22,5 persen dari target Rp 1.207,3 triliun. Capaian itu tumbuh signifikan 138,4 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Kemenkeu mencatat pembiayaan utang sudah relatif tinggi karena mencapai 91,5 persen dari target penerbitan triwulan I tahun ini. Karena itu, ada penyesuaian strategi pembiayaan. Salah satunya adalah mengurangi target SBN domestik dan menggeser penerbitan utang valas pada semester I 2021. (dee/c12/hep)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Ekonomi Bulungan Tumbuh 4,60 Persen

Kamis, 28 Maret 2024 | 13:30 WIB

2024 Konsumsi Minyak Sawit Diprediksi Meningkat

Selasa, 26 Maret 2024 | 12:21 WIB
X