Dinasti Politik Tumbuh Subur Didukung Aturan

- Senin, 22 Maret 2021 | 11:28 WIB
Herdiansyah Hamzah
Herdiansyah Hamzah

DINASTI politik memang tak serta-merta menyajikan perilaku korupsi. Kendati begitu, keberadaan trah politik bisa menjadi bibit sekaligus kompos perilaku korupsi tumbuh subur dan mengakar kian dalam. Dari kacamata Herdiansyah Hamzah, premis itu justru dipertegas Rita Widyasari di Kukar dan Ismunandar di Kutai Timur (Kutim). Dari kasus dua kepala daerah itu, terlihat bagaimana keluarga dalam kepemimpinan daerah berhasil menyajikan ketimpangan yang cukup tajam karena cenderung rakus dalam melanggengkan kekuasaan turun temurun demi mengumpulkan kekayaan.

“Akhirnya tak terkontrol. Membangun reputasi beraroma surga sekalipun tak bisa menyembunyikan watak aslinya, korup,” ungkapnya. Di Kukar, publik mengetahui keberlangsungan posisi bupati yang berlanjut dalam satu garis kekeluargaan dari Syaukani HR ke Rita Widyasari, anaknya. Sementara di Kutim, Ismunandar mengisi kursi bupati dan istrinya, Encek Unguria Rinda Firgasih menjabat ketua DPRD. Keleluasaan mengendalikan anggaran pun kian masif lantaran lembaga pengawas ditempati keluarga. Dari kasus operasi tangkap tangan (OTT) KPK awal Juli 2020 itu, Ismunandar dinilai menerima suap dari tiga rekanan lewat tiga kepala dinas.

Yaitu Musyaffa (kepala Badan Pendapatan Daerah/Bapenda Kutim), Suriansyah alias Anto (kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah/BPKAD Kutim), dan Aswandini Eka Tirta (kepala Dinas Pekerjaan Umum Kutim). Suap itu untuk membiayai operasional Ismunandar sebagai bupati Kutim 2016–2020 dengan total Rp 13,9 miliar. Serta menerima gratifikasi selama menjabat bupati mencapai Rp 13,5 miliar. Dari kasus itu, Ismunandar divonis selama tujuh tahun pidana penjara. Sementara istrinya, Encek divonis selama 6 tahun karena terlibat dalam kasus itu dan menerima gratifikasi Rp 629,7 juta.

Ada lima poin, lanjut pria yang karib disapa Castro itu, yang membuat dinasti politik berkembang cukup signifikan di Kaltim. Pertama, kelembagaan partai politik (parpol) yang tak demokratis dan cenderung dimonopoli kelompok tertentu. Kedua, parpol yang ada minim dalam membangun kapasitas kemandirian keuangan organisasi. “Mayoritas ruang kendali politik justru diberikan ke kelompok yang memiliki sumber daya finansial yang matang seperti oligarki. Bukan pada kelompok yang berwawasan politik sehat. Semakin kaya semakin mudah menyetir arah politik,” katanya.

Poin ketiga, regulasi politik di Indonesia memberi ruang oligarki hingga dinasti politik berkonsolidasi. Beratnya syarat pencalonan dalam pilkada, misalnya, membuat pintu demokrasi hanya bisa diakses kelompok tertentu. Lalu, rendahnya kesadaran politik massa dan cenderung massa mengambang atau floating mass. Hal ini berakibat menurunnya kontrol sosial atas dominasi dinasti politik atau oligarki yang tengah tumbuh subur. “Terakhir, masih kuatnya budaya feodal di masyarakat Kaltim. Semisal, menjunjung tinggi salah satu figur, sehingga tertutupnya ruang kritik,” sebutnya.

Kehadiran KPK menumpas korupsi di Kaltim memang tak hanya menyasar kepala daerah. Ada dua kasus yang tak beririsan dengan kendali pemerintahan. Yakni kasus suap hakim Kayat di Pengadilan Negeri Balikpapan oleh Sudarman dan Jonson Siburian pada 2018.

Kayat divonis selama tujuh tahun atas penerimaan uang senilai Rp 99 juta. Sementara Sudarman dan Jonson sama-sama diadili dengan putusan pidana penjara selama 5,6 tahun pidana penjara. Lalu, pada 2019 ada kasus suap sebesar Rp 9,4 miliar di proyek jalan nasional SP3 Lempake-SP3 Sambera-Santan-Bontang-Sanggata yang menyeret Hartoyo (pemilik PT Haris Tata Tahta), Refly Ruddy Tangkere (kepala BPJN Wilayah II Balikpapan) dan Andi Tejo Sukmono (Pejabat Pembuat Komitmen/PPK proyek jalan nasional).

Dari kasus itu, Hartoyo divonis 2,6 tahun, Refly empat tahun, dan Andi Tejo selama lima tahun pidana penjara. Perlu ada desain pengawasan yang ketat atas rentannya korupsi terjadi di Kaltim. Aparat penegak hukum (APH) di daerah, sebut Castro, mesti didorong untuk maksimal bertindak. Tak sekadar jadi penonton melihat komisi antirasuah memanggul beban pemberantasan korupsi yang teramat besar di Kaltim tergabung dalam wilayah VII pencegahan dan penindakan KPK. “Tak hanya itu pengawasan publik juga perlu dikencangkan. Semua harus disinergikan,” tutupnya. (ryu/riz/k16)

 

 

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X