Spesies orangutan semakin tahun semakin berkurang. Primata tersebut seolah kehilangan rumahnya. Binatang yang sejatinya hidup di alam bebas, harus terkungkung dalam kandang. Cola namanya. Dia bahkan tidak pernah melihat habitat aslinya.
SEBELAS tahun di Thailand. Sejak dilahirkan 13 Maret 2009. Cola tidak pernah melihat hutan. Orangtua Cola merupakan hasil penjualan liar yang dikirim ke Thailand.
Manajer Bornean Orangutan Rescue Alliance (BORA) Widi Nursanti, sejak diterima Desember 2019, Cola mengalami banyak perubahan. Dari gaya berjalan hingga kehidupannya sehari-hari. “Ada, tapi belum besar,” katanya.
Pertama datang ke BORA, Cola susah untuk beradaptasi, lantaran selama di Thailand ia ditempatkan di kandang, tanpa pernah melihat hutan. Begitu tiba, Cola berjalan dengan dua kaki. Sementara biasanya, jenis primata seperti orangutan berjalan dengan kaki dan tangan. “Saat ini masih kadang-kadang,” bebernya.
Widi melanjutkan, selang setahun Cola berada di BORA, sudah dua kali mengikuti kelas alam. Yang pertama Cola belajar berjalan. Kemudian, memanjat pohon meski tidak terlalu tinggi. “Dia mungkin takut untuk turun, jadi satu malam berada di atas pohon, karena kami takut terjadi apa-apa, akhirnya kami tembak bius,” ujarnya.
Dijelaskan Widi, Cola merupakan orangutan repatriasi. Kini Cola tengah menjalani masa rehabilitasi di pusat rehabilitasi BORA, di kawasan KHDTK Labanan, Jalan Poros Berau- Samarinda, Kilometer 35, Kampung Merasa, Kecamatan Kelay, Berau. “Butuh waktu lama bagi Cola untuk dilepasliarkan. Karena sudah terbiasa di kandang,” ucapnya. Cola yang sebelumnya dirawat di Khao Son Wildlife Breeding Center, merupakan anak dari induk orangutan yang telah dipulangkan terlebih dahulu dari Thailand ke Indonesia pada 2015. Kelahirannya di Thailand dan terpaksa berpisah dengan induknya saat Cola berusia tiga bulan, mengisyaratkan betapa dekatnya dengan manusia, dan kemungkinan besar tak mengenal perilaku alami sebagai orangutan.
Selama berada di BORA, perawat satwa memerlukan waktu hampir satu tahun untuk mengenalkan Cola dengan orangutan lain. Hingga pada pengujung 2020, atas pertimbangan tim medis dan perawat satwa, Cola dimasukkan fase program rehabilitasi, yaitu sekolah hutan. “Jenis kelamin betina, Cola itu masih sulit sosialisasi dengan orangutan lainnya,” beber dia.
Widi melanjutkan, meski butuh waktu tahunan untuk membuat sifat alami Cola berubah. Namun, ia bersama tim yakin bisa kembali ke sifat alaminya. “Orangutan itu memiliki kepintaran berbeda, bisa dalam empat hingga lima tahun, sifat alaminya sudah bisa dilepasliarkan,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kaltim Dheny Mardiono menerangkan, pihaknya juga terus memantau kondisi Cola, serta terus melakukan komunikasi dengan Pusat Perlindungan Orangutan. “Tepat besok (hari ini) Cola berulang tahun. Kami juga pantau kondisi kesehatannya, saat ini cukup baik,” katanya.
Selain Cola, terdapat 19 orangutan lainnya yang berada di BORA. Dan ke depannya dilepasliarkan ke Hutan Lindung Sungai Lesan.
“Kalau tidak ada halangan, tahun ini ada dua orangutan yang akan dilepasliarkan,” pungkasnya. (kpg/hmd/dra/k8)