Cerita Benda Jadul, Galeri Peradaban dan Kisah Kehidupan

- Senin, 15 Maret 2021 | 10:07 WIB

Setiap benda punya kisah berbeda. Bergantung pula siapa pemakainya. Waktu memiliki peran ganda. Menjadikan benda usang tak berguna, hingga bernilai rupiah. Tapi utamanya, benda itu memberi kenangan dan cerita sejarah.

DUA kursi cukur berkelir cokelat menjadi perhatian khusus saat menginjakkan kaki di Beranda Salma Shofa Samarinda. Merupakan kursi cukur Hokentuki Tokusei, di bagian injakan kaki tercetak tulisan timbul dengan huruf besar Shyoten Osaka Nippon.

“Ini aku dapat sekitar 2015 waktu di Balikpapan. Diberi tahu kalau ada tukang cukur yang punya kursi ini. Aku langsung pergi, modus basa-basi mau potong rambut. Padahal belum waktunya cukur,” ujar Syafruddin Pernyata lalu terkekeh.

Singkat cerita, sepasang kursi itu didapat pemilik tempat cukur dari pamannya di Surabaya pada 1974. Dari sang paman sudah dalam kondisi tangan kedua. Kondisinya ketika saat itu memang mulai rusak. Terikat di beberapa bagian, menyangga bagian yang patah dan hilang.

Tanpa pikir panjang, sepasang kursi itu dia boyong ke Samarinda diganti dengan Rp 1 juta. Dia perbaiki bantalan duduknya, dipoles ulang dengan warna yang sama, memperbaiki beberapa bagian. “Jadi ini ada sandaran kepalanya, tapi sudah hilang. Juga ada tuas untuk naik-turunkan kursinya, mirip kemudi kapal. Mur yang lepas diganti,” lanjut dia.

Diperkirakan jika kursi cukur itu diproduksi pada era 1930-1940-an. Ketika ditelusuri di internet, beberapa situs dengan embel-embel antik menyebutkan mahar hingga Rp 35 juta untuk meminang satu buah kursi. “Betapa bersyukurnya aku dapat ini kan. Ini luar biasa beratnya saat diangkut,” imbuhnya.

Semua bermula pada 2013 lalu. Syafruddin saat itu bertugas di Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi (Bandiklat), sekarang Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kaltim. Ketika agenda kunjungan kerja dan menyambangi beberapa tempat, dia menjumpai beberapa benda zaman dulu (jadul).

“Saat itu aku merencanakan bahwa ingin punya tempat untuk menaruh benda-benda yang aku kumpulkan itu. Tapi, kalau kunamakan galeri kesannya wah begitu kan, tapi aku lebih nyaman menyebut ini beranda atau teras,” lanjut pria kelahiran 1958 itu.

Dia menyebut, jika koleksi berbagai benda di beranda miliknya tidak hanya tentang benda jadul. Beberapa di antaranya sebagai catatan yang berkenaan dengan perjalanan hidup dia dan keluarganya.

Salah satunya maket tugas akhir milik anaknya yang saat itu mengambil jurusan arsitektur. Berbentuk kantor pengelola Bandar Udara Angkasa Pura I Jakarta. “Sayang kalau dibuang, aku bikinkan kaca dan aku pajang di sini. Ini kan bagian dari perjalanan hidup keluargaku,” jelasnya.

“Termasuk ini (mengangkat piala setinggi kurang 40 sentimeter), piala yang aku dapat saat juara 2 karya tulis kepramukaan pada 1990. Tidak selalu berkaitan dengan benda jadul, tapi ini refleksi hidup. Kisah sejarah yang menyertai perjalananku,” sambungnya.

Sebagian besar barang yang terpajang di Beranda Salma Shofa kepunyaan Syafruddin adalah pemberian. Dia menyebut jika mengoleksi benda lama adalah tujuan hidupnya. “Maka akan ada banyak jalan. Posting-anku (di Facebook) lagi mengoleksi, akhirnya orang dengan sukarela memberi barang peninggalan miliknya kepadaku,” bebernya.

Termasuk beberapa bokor atau pinggan mirip mangkuk besar dari kuningan dengan ukiran di sisi luarnya. Dia menyebut jika benda itu merupakan pemberian seorang kawan. Umumnya dipakai untuk menyimpan buah atau makanan untuk disajikan.

Syafruddin menyebut jika pada era 1960-an, hanya mereka yang betul-betul kaya, yang memiliki benda itu di rumahnya. “Tersaji buah-buahan di meja makan dengan benda ini (menunjuk bokor) atau di ruang tamu. Kalau zaman aku dulu enggak ada itu buah-buahan, adanya di kampung. Makan juga dari piring dan gelas seng,” kenangnya lalu tertawa.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Puasa Pertama Tanpa Virgion

Minggu, 17 Maret 2024 | 20:29 WIB

Badarawuhi Bakal Melanglang Buana ke Amerika

Sabtu, 16 Maret 2024 | 12:02 WIB
X