Lonjakan Penduduk di Samarinda dan Balikpapan, Layanan KTP Berpotensi Malaadministrasi

- Sabtu, 6 Maret 2021 | 21:00 WIB
Kantor Disdukcapil Samarinda
Kantor Disdukcapil Samarinda

SAMARINDA-Risiko lonjakan penduduk di Kota Samarinda dan Balikpapan jadi perhatian Ombudsman RI Perwakilan Kaltim setelah provinsi ini dipilih jadi lokasi ibu kota negara (IKN) baru. Dari hasil kajian Ombudsman, urusan dasar pelayanan negara terkait KTP elektronik menemui sejumlah masalah. Ada empat daerah yang jadi bahan kajian Ombudsman RI Perwakilan Kaltim. Daerah tersebut adalah Balikpapan, Samarinda, Penajam Paser Utara (PPU), dan Kutai Kartanegara (Kukar).

Kepala Keasistenan Pengaduan Masyarakat Ombudsman RI Kaltim Ria Maya Sari mengatakan, penambahan penduduk pendatang dan penduduk nonpermanen di Balikpapan dan Samarinda cukup signifikan sehubungan dengan rencana pemindahan IKN. “Ombudsman juga mendapati bahwa di Balikpapan, Kukar, dan PPU belum ada peraturan kepala daerah yang mengatur pelaksanaan pendataan penduduk nonpermanen. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 21 Ayat 1 Permendagri Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pedoman Pendataan Penduduk Nonpermanen,” terangnya.

Lanjut dia, hanya Samarinda yang sudah melaksanakan pendataan penduduk nonpermanen sebagaimana diatur dalam Perwali Samarinda Nomor 47 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pendataan Penduduk Nonpermanen. Ombudsman menyarankan perlunya peraturan di tingkat daerah terkait hal itu guna mengantisipasi peningkatan jumlah penduduk drastis seiring berjalannya rencana pemindahan IKN.

Ombudsman RI Kaltim juga menyampaikan saran perbaikan. Antara lain, perlunya Disdukcapil menjaga konsistensi dan menghindari potensi malaadministrasi terkait ketersediaan blangko KTP-el yang sudah memadai. Serta mengadakan koordinasi secara rutin dengan penyelenggara pelayanan publik lain guna mengantisipasi potensi masalah terkait pemanfaatan data administrasi kependudukan. Apalagi di sisi lain, penerapan Nomor Induk Kependudukan (NIK) di unit penyelenggara pelayanan publik belum optimal.

Menurut Ria, saat ini banyak pelayanan publik yang belum memiliki KTP scanner. Jadi, alih-alih KTP elektronik membuat urusan dokumen bebas kertas, nyatanya urusan di pemerintahan juga masih memerlukan fotokopi KTP. "Masih jadi kendala di layanan public. Idealnya tidak perlu lagi fotokopi asalkan semua penyelenggara publik punya KTP scanner. Kami juga mendorong agar penyelenggara publik untuk hal ini," kata Kepala Perwakilan Ombudsman RI Kaltim Kusharyanto. Meskipun sebelumnya masalah yang mengemuka adalah KTP elektronik yang tak bisa dicetak karena kehabisan blangko, Ombudsman menemukan bahwa ketersediaan blangko KTP-el tidak lagi menjadi masalah yang berarti dalam penyelenggaraan administrasi kependudukan dan untuk 2021.

Ketersediaan blangko tersebut dijamin oleh Dirjen Kependudukan Kementerian Dalam Negeri RI. Kemudian, masing-masing Disdukcapil juga telah melaksanakan berbagai inovasi pelayanan untuk memudahkan masyarakat mengakses administrasi kependudukan. Di antaranya,

pelayanan jemput bola, perekaman yang dilaksanakan hingga tingkat kecamatan, serta distribusi KTP-el secara kolektif. Nah, terkait layanan jemput bola tersebut, ada risiko malaadministrasi. Ketika harga yang ditentukan tidak sesuai dan tidak diatur jelas. Selain itu, perlu pelibatan masyarakat untuk menentukan kebijakan ini.

"Standar pelayanan harus dilakukan partisipatif. Bisa ditentukan ring 1 ring 2, ring 3 untuk rujukan biaya kirim. Di sisi lain, masyarakat juga tetap bisa memilih, mau ambil langsung atau dikirimkan," imbuhnya. Di sisi lain, penyediaan layanan jemput bola juga mesti ada pada beberapa kasus khusus. Misalnya, bagi para penyandang disabilitas, kantor pusat jauh dari permukiman, dan sebagainya. Kusharyanto mengungkapkan, idealnya masyarakat bebas mengadu ketika pelayanan publik tidak ideal. Meski begitu, tak sedikit masyarakat yang takut jika mereka mengadu di media sosial. Sebab, takut terjerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Karena itu, dia menyebut bahwa Ombudsman sangat terbuka bagi masyarakat yang hendak mengadu.

Apalagi, hasil temuan Ombudsman masih banyak aspek yang belum dipenuhi unit penyelenggara pelayanan/OPD dalam hal pengelolaan pengaduan pelayanan publik. Terutama di aspek ketersediaan sarana, prasarana dan mekanisme bagi masyarakat yang melakukan pengaduan secara langsung. Untuk itu, Ombudsman menyampaikan saran perbaikan kepada OPD/pemda untuk melengkapi sarana-prasarana. Serta aspek lainnya terkait pengelolaan pengaduan. Agar sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menyediakan mekanisme dengar pendapat secara terpisah.

Apalagi urusan pengelolaan pengaduan di OPD sudah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik. (nyc/riz/k16)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X