Bambang Iswanto
Dosen Institut Agama Islam Negeri Samarinda
BELUM seumur jagung, baru sebulan ditandatangani, kebijakan menyangkut “legalisasi” minuman keras (miras) akhirnya dicabut. Langkah tepat diambil Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal itu dilakukan setelah banyak mendapat masukan dari organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan.
Entah apa yang merasuki para penyusun aturan yang membuka kembali investasi miras di Indonesia. Padahal, dalam aturan sebelumnya yakni Undang-Undang (UU) 25 Tahun 2007 yang melahirkan aturan turunan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2016, investasi minuman keras yang mengandung alkohol ditempatkan dalam klasifikasi bidang usaha tertutup.
Untuk diketahui, Perpres 10 Tahun 2021 merupakan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Banyak pengamat hukum menyatakan itulah konsekuensi dari disahkannya UU Ciptaker yang pernah mendapat perlawanan sengit dari pihak yang kontra.
Gambaran teori gamblangnya seperti ini. Ada korelasi kuat antara penciptaan lapangan kerja dengan terbukanya investasi. Dengan demikian, memang harus dibuka pula iklim dan lapangan investasi yang luas.
Sebenarnya sah-sah saja penciptaan iklim dan lapangan investasi di Indonesia. Namun, tidak asal buka keran investasi, tetap harus ada kontrol dan pertimbangan plus-minus atas dibukanya keran investasi.
Pertimbangannya bukan didasarkan hanya pada menguntungkan di aspek ekonomi. Tetapi juga aspek penting lain tidak bisa dilalaikan seperti aspek moral, aspek lingkungan, dan budaya.
Jangan sampai mengejar nilai ekonomis yang tinggi di balik terbukanya keran investasi, tapi muncul persoalan baru yang jauh lebih besar yang nilainya tidak sebanding dengan nilai ekonomis yang didapat.
Rasanya sangat tidak sepadan membandingkan nilai ekonomi yang besar ketika harus berhadapan dengan kerusakan lingkungan. Investasi tambang tentu menghasilkan pundi-pundi yang bisa dijadikan pemasukan kas negara. Namun, jika akibatnya menyisakan lubang tambang menganga yang siap memakan korban atau berdampak pada banjir yang membuat infrastruktur rusak dan merugikan serta membuat banyak orang menderita, investasi seperti itu jauh lebih baik dihentikan.
Demikian juga dengan membuka investasi industri pembuatan minuman keras seperti yang dilegalkan dalam Perpres 10/2021, tidak kalah merugikan dibanding dengan kehancuran moral yang sangat berpotensi muncul.
Dalam pola pikir sederhana, sudah bisa dibayangkan apa jadinya investasi pembuatan minuman keras jika dibuka. Dalam regulasi yang sangat dibatasi saja, dampak minuman keras masih sangat terasa.