Dampak Ekonomi Pandemi Bayangi Inflasi

- Selasa, 2 Maret 2021 | 11:35 WIB
ilustrasi
ilustrasi

JAKARTA– Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi Februari 2021 pada angka 0,10 persen month-to-month (MtM). Sementara itu, inflasi tahunan mencapai 1,38 persen year-on-year (YoY).

Kepala BPS Suhariyanto menyatakan bahwa angka inflasi itu turun dari realisasi Januari 2021 yang mencapai 0,26 persen atau 1,55 persen YoY. ”Inflasi Februari lebih lambat daripada Januari. Ini mengindikasikan, sampai Februari pun dampak pandemi masih membayangi perekonomian,’’ ujarnya (1/3).

Suhariyanto berpesan agar kondisi itu diwaspadai. Sebab, dampak persebaran virus SARS-CoV-2 masih terus membayangi perekonomian Indonesia dan berbagai negara di dunia.

”Pandemi ini mengakibatkan mobilitas berkurang, roda ekonomi bergerak lambat, memengaruhi pendapatan, dan memengaruhi lemahnya permintaan,’’ terangnya.

Inflasi Februari disebabkan kenaikan beberapa komoditas pangan. Di antaranya, harga cabai rawit dan ikan segar. Cuaca yang kurang baik memicu lonjakan harga cabai rawit di pasaran.

Suhariyanto menyatakan bahwa ada dua komoditas yang dominan dalam mengakibatkan inflasi. Yakni, kenaikan tarif tol yang memberikan andil inflasi sebesar 0,02 persen dan tarif angkutan udara di beberapa daerah yang memberikan andil 0,01 persen. ”Kenaikan tol tertinggi terjadi di Surabaya dan Bekasi,’’ imbuhnya.

Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Tradisional (Ikappi) Abdullah Mansuri menegaskan bahwa tingginya harga cabai dua bulan terakhir tidak pedagang duga. Menurut dia, penyebabnya adalah distribusi komoditas dari daerah penghasil cabai ke Jakarta belum maksimal. ”Biasanya karena musim hujan, distribusi dan panen jadi tidak stabil. Semoga cabai rawit bulan ini mulai normal,” ujarnya.

Harga cabai patut menjadi sorotan karena sebentar lagi Ramadan dan Lebaran. Umumnya, permintaan meningkat pada bulan-bulan itu. Maka, harganya pun berpotensi naik. ”Perlu diperhatikan apakah sudah punya produksi cukup atau tidak,” tutupnya.

Sementara itu, Kepala BPS Jawa Timur (Jatim) Dadang Hardiwan menyatakan bahwa rata-rata harga barang dan jasa di provinsinya naik 0,22 persen. Atau, naik dua kali lipat dari angka nasional. Dari delapan kota indeks harga konsumen (IHK) yang dipantau BPS, hanya Kota Malang yang mengalami deflasi sebesar 0,1 persen. ’’Inflasi terbesar terjadi di Surabaya yang mencapai 0,29 persen,’’ paparnya.

Hasil tersebut dicapai karena beberapa sektor pengeluaran. Dua terbesar adalah jasa penyediaan makanan dan minuman serta transportasi. Rata-rata pengeluaran untuk transportasi naik menjadi 0,8 persen jika dibandingkan dengan Februari 2021. Pemicunya adalah kenaikan harga mobil dan onderdil. Jasa penyediaan makanan mengalami inflasi tertinggi, yakni 0,92 persen.

Ketua Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran Indonesia (Apkrindo) Jatim Tjahjono Haryono menyatakan bahwa andil jasa penyedia makanan tak mencerminkan kondisi sebenarnya. Menurut dia, kinerja anggota Apkrindo masih terkendala pembatasan mobilitas. ”Saat ini banyak pelaku yang menderita. Omzet mereka hanya tinggal 50 persen,” jelasnya.

Pengamat ekonomi Universitas Surabaya (Ubaya) Werner Muhardi menyatakan bahwa secara umum inflasi menunjukkan tren positif. Sebab, angka 0,22 persen tersebut cukup konservatif. Yang perlu diperhatikan, menurut dia, justru jika daerah mengalami deflasi.

Dia berharap inflasi pada kelompok penyedia jasa makanan bisa disusul jasa lainnya. Pasalnya, hampir seluruh jasa di Indonesia, terkecuali kesehatan dan infokom, tiarap tahun lalu. ’’Jasa seperti pendidikan, pariwisata, dan hiburan biasanya punya andil besar terhadap inflasi. Tapi, saat ini andil mereka berkurang,’’ jelasnya. (dee/bil/agf/c12/hep)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Kontribusi BUM Desa di Kalbar Masih Minim

Kamis, 25 April 2024 | 13:30 WIB

Pabrik Rumput Laut di Muara Badak Rampung Desember

Senin, 22 April 2024 | 17:30 WIB
X