Ujung Pandemi Masih Gelap, Indonesia Tidak Pernah Patuhi Standar WHO

- Selasa, 2 Maret 2021 | 11:13 WIB
Pemakaman korban Covid-19. Pemerintah menargetkan bahwa Indonesia akan bebas dari Covid-19 pada 17 Agustus 2021 mendatang. Bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia. Bagaimanapun, banyak yang menilai bahwa target ini tidak realistis.
Pemakaman korban Covid-19. Pemerintah menargetkan bahwa Indonesia akan bebas dari Covid-19 pada 17 Agustus 2021 mendatang. Bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia. Bagaimanapun, banyak yang menilai bahwa target ini tidak realistis.

JAKARTA- Pemerintah menargetkan bahwa Indonesia akan bebas dari Covid-19 pada 17 Agustus 2021 mendatang. Bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia. Bagaimanapun, banyak yang menilai bahwa target ini tidak realistis.

Target ambisius tersebut disampaikan oleh Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo di hadapan media pada 19 Februari lalu. Meskipun kemudian Jubir Pemerintah Wiku Adisasmito mengklarifikasi target tersebut bahwa yang dimaksud bebas bukan berarti nol kasus. Bebas kata Wiku berarti kondisi penularan yang benar-benar dapat dikendalikan.

Namun menurut Elina Ciptadi, co-Founder Kawal Covid-19, sampai saat ini, setahun setelah pandemi menggerogoti kehidupan masyarakat Indonesia, pemerintah belum fokus pada pengurangan transmisi penularan Covid-19. Positivity rate bulan demi bulan yang dilalui masih stabil berada jauh diatas standar WHO yakni 5 persen.

Pada 28 Februari lalu, angka positivity rate terekam pada 26,19 persen. Angka ini pernah naik tajam pada awal pertengahan Februari 2021 lalu, tingkat positivity rate bahkan sempat menyentuh angka 38,34 persen. “Dalam beberapa minggu terakhir rata-rata positivity rate sekitar 18 persen. Itu artinya dari 7 juta orang yang dites, 1,3 juta orang diantaranya positif,” kata Elina kemarin (2/3)

Memang angka positif ini selalu berfluktuasi, namun Indonesia tidak pernah mencapai standar maksimum WHO yang menyatakan bahwa positivity rate harus ditekan di bawah 50 persen.

Dalam waktu bersamaan, Indonesia juga belum pernah mencapai standar WHO dalam hal testing dan tracing. Yakni 1 per 1000 orang per minggunya. Elina mengatakan bahwa untuk mencapai standar WHO tersebut, Indonesia harus melakukan tes terhadap 38 ribu orang setiap harinya atau 270 ribu orang setiap minggunya.

Memang pada beberapa waktu, jumlah tes Indonesia bisa mencapai target ini. Namun Indonesia tidak bisa konsisten. Elina menyebut bahwa tes harian sempat mencapai angka 40 ribu. “Tapi belakangan sering anjlok ke level 20 ribuan per hari,” katanya.

Menurut data yang dikumpulkan oleh Kawal Covid-19, jumlah tes di Indonesia anjlok ke bawah garis 25.000 per hari pada masa 13 hingga 17 Februari 2021. Saat itu memang sedang weekend yang bertepatan dengan tahun baru Imlek. Angka tes naik kembali pada 19 Februari bahkan melampaui 60 ribu per hari. Kemudian bertahan di sekitar 50 ribuan. Kembali jeblok di bawah garis 25.000 an pada 27 Februari.

Tapi Elina kembali mengingatkan, 38 ribu per hari adalah angka minimum. Inipun tidak bisa dijadikan tujuan akhir. Pemerintah tidak bisa berpuas diri saat angka tes ini sudah tercapai. “Jadi ibarat masuk sekolah, ini baru syarat masuk. Tes harus terus dinaikkan sampai positivity rate tertekan di bawah angka 5 persen. Berapapun banyaknya. Tidak ada jumlah tes yang ideal,” jelasnya.

Fluktuasi angka tes setiap hari ini kata Elina memberikan ketidakpastian dalam hal penilaian apakah laju penularan sudah berhasil ditekan. Penurunan angka tes per harinya bisa jadi kata Elina merupakan ilusi penurunan kurva kasus. “Karena tes anjlok, maka kurva juga kelihatan menurun. Kalau jumlah tes nya konsisten, terus kasusnya menurun, maka baru kita bisa sedikit bernafas lega. baru bisa dikatakan bahwa penularan juga turun,” paparnya.

Selama pemerintah belum bisa menjaga jumlah test per harinya sesuai standar, maka menurut Elina mematok target pandemi terkendali pada tanggal tertentu berdasarkan penurunan kurva yang semu adalah tidak tepat.

Menurut Elina sebenarnya Indonesia mampu mencapai target testing WHO ini dengan cara menggencarkan tes antigen yang lebih murah, cepat dan praktis. Elina mencontohkan India yang sedikit banyak mirip dengan Indonesia dalam penanganan pandemi.

Di puncaknya, India melaporkan sampai 90 ribuan kasus per hari. Yakni di September-Oktober 2020. Namun saat ini, kasus sudah sudah turun di 13-16 ribu per hari. ”Mereka melakukan ini dengan tes yang luar biasa agresif (bisa sampai sejuta sehari) yang kebanyakan pake tes antigen,” katanya.

Dari tes tersebut, yang positif langsung dikarantina, tidak peduli bergejala atau tidak. ”Jadi tes dan karantinanya massal, gede-gedean. Tapi dengan demikian mereka membelokkan kurva, dan kasus aktifnya sudah turun jauh juga, kurang lebih setara dengan indonesia. Padahal populasi mereka hampir 5 kali Indonesia,” katanya.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X