KONDISI yang dihadapi hotel saat pandemi Covid-19 berbeda di setiap daerah di Kaltim. Dengan banyaknya pembatasan dan terpukulnya berbagai sektor seperti penerbangan, wisata, dan meeting, incentives, conferences, exhibitions (MICE) membuat hotel di dua kota besar, yakni Samarinda dan Balikpapan paling terpuruk.
Sekretaris Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kaltim Muhammad Zulkifli menyebut, pada awal pandemi, 21 hotel termasuk tujuh hotel berbintang terpaksa tutup sementara. Bahkan ada yang hingga kini belum beroperasional dan dalam proses dijual pemiliknya.
“Yang harus dipahami saat ini, memang ada hotel yang masih mampu bertahan. Namun, banyak yang masih terduduk,” ungkapnya.
Samarinda dan Balikpapan yang mengedepankan pasar dari MICE, selama pandemi otomatis kehilangan pendapatan. Padahal kegiatan MICE bisa memberikan 30-50 persen pemasukan, terutama dari kegiatan dari pemerintah. “Sekali lagi bisnis hotel tidak hanya diukur dari tingkat hunian,” sebutnya.
Balikpapan lebih beruntung. Sebab, sejumlah proyek strategis nasional masih berjalan. Di antaranya, pembangunan kawasan kilang Pertamina yang menyedot ribuan pekerja dari luar daerah. “Apalagi dengan pemindahan ibu kota negara. Ribuan orang sudah eksodus ke Kaltim. Sebagian besar melalui Balikpapan,” ujarnya.
Sementara di Samarinda, marketnya masih terbuka karena menjadi ibu kota dengan berbagai sektor jasa dan perdagangan dari utara Kaltim. Tetapi Zulkifli menyebut, yang menentukan pada akhirnya adalah strategi masing-masing hotel untuk meningkatkan bisnis mereka. “Ini persoalan kekuatan marketing,” sebutnya.
Saat ini sektor perhotelan belum bicara soal bagaimana menangguk keuntungan. Yang terpenting bagi pihak hotel adalah bertahan. Banyak cara yang dilakukan. Di antaranya, penghematan, pengurangan jam kerja, hingga pemutusan hubungan kerja. “Tapi yang hotel lakukan sesuai dengan prosedur ketenagakerjaan jika memang ada PHK,” ucapnya.
Bicara soal stimulus atau relaksasi, Zulkifli menyebut belum ada. Pihaknya sudah berjuang sejak awal pandemi agar sektor perhotelan mampu mendapatkan bantuan dari pemerintah. Paling minim adalah beban listrik. “Tidak juga. Yang ada hanya penundaan. Ya ujungnya bayar juga sesuai beban. Kalau relaksasi itu diberi diskon, gitu,” jelasnya.
Adapun bantuan dari Kementerian Pariwisata disebut hanya berlaku untuk daerah tertentu. Seperti Samarinda dan Berau. Untuk alasannya, dia tidak mengetahui mengapa dua daerah itu saja yang dapat bantuan. Bantuannya dalam bentuk apa dia juga tidak paham.
“Yang jelas tolonglah. Hotel ini juga garda terdepan. Jadi, kalau ada program juga diprioritaskan. Seperti vaksin, itu tenaga kerja di hotel kalau bisa diutamakan,” ungkapnya.
Itu sejalan dengan sejumlah hotel yang dijadikan pusat isolasi mandiri, sehingga memerlukan vaksin untuk menyelamatkan karyawan hotel yang melayani tamu yang menjalani isolasi. “Hotel sejak dulu mengedepankan Sapta Pesona. Jadi, harus aman dari ancaman seperti wabah,” tuturnya.
Yang dia sayangkan, setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah selalu berdampak negatif bagi hotel. Seperti pembatasan dengan alasan protokol kesehatan. Padahal setiap hotel khususnya yang tergabung di PHRI dipastikan telah memiliki sertifikat CHSE (cleanliness, health, safety, and environment sustainability). “Jadi, apa gunanya CHSE ini kalau hotel juga ikut dibatasi,” sebutnya.
Awal tahun ini, Dinas Pariwisata (Dispar) Kaltim pun mengapresiasi pengelola perhotelan atas diterimanya sertifikat CHSE dari Kementerian Pariwisata. “Saat ini sudah 30 hotel di Kaltim yang bersertifikat CHSE,” kata Kepala Dispar Kaltim Sri Wahyuni.
Pemberian sertifikat CHSE bagi pengelola hotel salah satu strategi menghadapi masa adaptasi kebiasaan baru di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif (parekraf). Sertifikat CHSE, diungkap Sri, diberikan kepada pengelola hotel setelah mengantongi sertifikat penilaian dari auditor independen (Sucofindo).