Abu

- Rabu, 24 Februari 2021 | 14:16 WIB

Oleh; Chai Siswandi

(Petani, tinggal di Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara)

 

Gigil dingin menyelimuti jembatan tempat kami berdiri. Tacik memintaku menemaninya ke Jembatan Mahakam. Pagi-pagi sekali aku meluncur dari Kota Bangun naik Supra yang dipinjamkan negara. Atas nama sebuah ikatan persahabatan. Untuk melarung abu Wiguno.

Di simpang tiga Sungai Kunjang, Kartini, kakak perempuan Wiguno yang biasa kupanggil Tacik, sudah menunggu. Setelah menitip sepeda motor di dekat pos polisi, kami berjalan kaki  menuju tengah jembatan di lajur pejalan kaki.

Jembatan bercat kuning terkelupas, bertuliskan Mahakam. Lantai pejalan kaki yang terbuat dari pelat besi berderak-derak. Lalu lintas pagi itu belum terlalu ramai. Hanya kami yang ada di lajur pejalan kaki, tepat di bawah lengkung baja penopang jembatan itu.

Tongkang-tongkang batu bara juga belum ada yang hilir mudik. Tacik terlihat tegas, walaupun aku tahu kesedihan menyelimuti hatinya. Tangannya membawa guci yang didekapnya selalu. Guci abu jenazah adik kesayangannya. Imlek yang akan datang sebentar lagi, harus dilalui dengan duka. Kehilangan adik yang dicintainya.

Meski berteman lama. Aku tak pernah tahu apa agama Mas Wieg–begitu aku biasa memanggil Wiguno–kami bersahabat begitu saja. Aku tak pernah menanyakan. Sampai kemarin, Tacik mengabari Mas Wieg sudah meninggal dan bermohon pesan agar aku ikut melarung abunya di Mahakam. Jenazah dibakar di krematorium di utara Samarinda.

Dalam hidupnya yang sepi Mas Wieg tak punya banyak teman. Sering kuejek ia karena belum menikah dan tak laku. Katanya, perjodohan itu rumit. Dia punya toko kecil di pinggiran Karang Mumus. Menjual sembako dan aneka barang kelontong. Makanan ringan, rokok dalam rak kaca kecil, sampo sachet, dan rentengan pisau cukur terpajang di depan toko itu. Sebatang pohon kersen tumbuh subur di depan rumah. Burung pipit sering bertengkar merebutkan buahnya.

Mas Wieg suka lari pagi. Biasanya pagi-pagi sebelum membuka toko ia selalu jogging dulu, di sepanjang tepian Mahakam. Kata Tacik, Jembatan Mahakam adalah salah satu tempat favoritnya. Sering ia menemani Mas Wieg naik sepeda motor ke depan Islamic Center, lalu lari sampai ke tengah jembatan Mahakam. Berada di tengah-tengah jembatan itu, diterpa deru angin, mengeringkan keringat, dia membentangkan tangannya. Seperti burung yang melebarkan sayapnya. Bujang, yang mencintai kebebasannya.

Dulu dia pernah berkelakar. ”Kami orang-orang keturunan itu beruntung, bisa berumur panjang. Beda sama kamu, gaya hidupmu itu gak sehat. Makanmu sembarangan, gak pernah olahraga. Aku yakin nanti aku ikut ngubur kamu,” ucapnya sambil tertawa terkekeh-kekeh, seolah meramal masa depan kami.

Kakek buyutnya dulu adalah orang Tiongkok yang didatangkan ke Kalimantan dari Surabaya lewat Makassar sebagai buruh tambang batu bara Oost Borneo Maatschapij (OBM) di Batu Panggal. Sampai bisa punya tanah sendiri di sekitar Pecinan. Yang sekarang jadi Jalan Imam Bonjol. Rumah itu sudah dijual dan kehilangan jejak di deretan ruko-ruko.

Dia pernah bergumam, sejak zaman Belanda sampai sekarang orang-orang seperti dirinya selalu didiskriminasi, dianggap warga negara kelas dua, bukan asli Indonesia. Padahal dari buyut sampai ayahnya bekerja keras untuk bangsa ini. Sebelum Indonesia merdeka itu ada. Bahkan, orang-orang Tionghoa lebih dulu datang dan tinggal di Nusantara dibanding orang-orang Eropa yang malah menjadi penjajah kemudian.

Pada 1854, diketok UU Regerings Reglement di mana masyarakat di Hindia Belanda menjadi dibedakan antara golongan Eropa dan Jepang, Timur Jauh, dan bumiputra. Yang akhirnya menjadi diskriminasi antar-etnis.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X