PROKAL.CO,
Pasal-pasal karet dalam UU ITE kerap disalahgunakan untuk memidanakan aktivis pembela HAM, pihak-pihak yang mengkritik pemerintah, bahkan jurnalis.
SAAT menerima laporan terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), penyidik kepolisian harus mampu membedakan antara kritik, masukan, hoaks, atau pencemaran nama baik. Penegasan itu disampaikan secara resmi oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo melalui surat edaran bernomor SE/2/112021.
Setelah terbitnya surat tersebut, penyidik tidak boleh lagi memproses pidana terlapor tanpa mempelajari unsur-unsur laporan tersebut. Ada juga instruksi agar tersangka yang telah sadar dan meminta maaf tidak ditahan, meski proses hukum tetap berjalan. Penyidik juga harus memberikan ruang mediasi dari tingkat penyelidikan dan penyidikan. Bahkan, penyidik bisa memberikan saran kepada jaksa penuntut umum untuk mediasi di tingkat penuntutan.
Secara keseluruhan, terdapat sebelas poin yang diatur dalam SE Kapolri itu. Di antaranya, penyidik diminta mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital dan berbagai persoalannya, memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisasi permasalahan dan dampaknya. ”Saat menemukan ada yang saling kata, kita ingatkan bahwa hal itu tidak baik dan pidana,” papar Kadivhumas Polri Irjen Argo Yuwono.
Penyidik juga harus mengedepankan pre-emtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert. Tujuannya memonitor, mengedukasi, mengingatkan, dan mencegah tindak pidana siber. ”Ini penyidik harus paham, teknisnya diberikan ke Bareskrim,” jelasnya. Saat menerima laporan, penyidik juga harus berkomunikasi dengan para pihak yang terkait. Khususnya korban. Petugas juga harus mengkaji dan membuat gelar perkara secara komprehensif dengan melibatkan Bareskrim dan Dittipidsiber melalui virtual meeting. ”Saat mediasi, pihak yang berperkara diberikan ruang khusus,” paparnya.