Setelah Kapolri Terbitkan Surat Edaran tentang UU ITE, Jika Tersangka Minta Maaf Tidak Boleh Ditahan

- Rabu, 24 Februari 2021 | 13:02 WIB
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo

Pasal-pasal karet dalam UU ITE kerap disalahgunakan untuk memidanakan aktivis pembela HAM, pihak-pihak yang mengkritik pemerintah, bahkan jurnalis.

 

SAAT menerima laporan terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), penyidik kepolisian harus mampu membedakan antara kritik, masukan, hoaks, atau pencemaran nama baik. Penegasan itu disampaikan secara resmi oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo melalui surat edaran bernomor SE/2/112021.

Setelah terbitnya surat tersebut, penyidik tidak boleh lagi memproses pidana terlapor tanpa mempelajari unsur-unsur laporan tersebut. Ada juga instruksi agar tersangka yang telah sadar dan meminta maaf tidak ditahan, meski proses hukum tetap berjalan. Penyidik juga harus memberikan ruang mediasi dari tingkat penyelidikan dan penyidikan. Bahkan, penyidik bisa memberikan saran kepada jaksa penuntut umum untuk mediasi di tingkat penuntutan.

Secara keseluruhan, terdapat sebelas poin yang diatur dalam SE Kapolri itu. Di antaranya, penyidik diminta mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital dan berbagai persoalannya, memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisasi permasalahan dan dampaknya. ”Saat menemukan ada yang saling kata, kita ingatkan bahwa hal itu tidak baik dan pidana,” papar Kadivhumas Polri Irjen Argo Yuwono.

              Penyidik juga harus mengedepankan pre-emtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert. Tujuannya memonitor, mengedukasi, mengingatkan, dan mencegah tindak pidana siber. ”Ini penyidik harus paham, teknisnya diberikan ke Bareskrim,” jelasnya. Saat menerima laporan, penyidik juga harus berkomunikasi dengan para pihak yang terkait. Khususnya korban. Petugas juga harus mengkaji dan membuat gelar perkara secara komprehensif dengan melibatkan Bareskrim dan Dittipidsiber melalui virtual meeting. ”Saat mediasi, pihak yang berperkara diberikan ruang khusus,” paparnya.

Selanjutnya, penyidik harus berprinsip bahwa pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum. Polri harus mengedepankan restorasi justice dalam penyelesaian perkara. Poin lainnya, langkah damai harus menjadi prioritas penyidik untuk restorasi justice, kecuali perkara yang berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme.

            Poin terakhir, agar dilakukan pengawasan berjenjang dalam tiap penyelidikan dan penyidikan, serta memberikan reward and punishment atas penilaian pimpinan. ”Ini agar penyidik merasa terawasi,” urai Argo. Selain surat edaran, Kapolri mengeluarkan telegram terkait hal yang sama. Ada petunjuk teknis yang harus dilakukan. ”Sama juga ini penekanan kepada anggota, adanya TR,” papar dia dalam konferensi pers, kemarin.

                Bagaimana dengan kasus ITE Novel Baswedan? Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Rusdi Hartono mengatakan, sejak ada surat edaran dan telegram, semua kasus diperlakukan sama. Kasus Novel akan diupayakan mediasi dengan pelapornya. ”Prosesnya akan seperti itu, untuk kasus yang sudah dan akan datang. Restorasi justice dikedepankan,” tegasnya. Pada bagian lain, Koalisi Masyarakat Sipil memberi masukan kepada pemerintah terkait pembentukan Tim Kajian UU ITE.

Muhammad Isnur, perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyatakan, pihaknya pesimistis dengan hasil kerja tim bentukan menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan (menko polhukam). Keterangan itu disampaikan berdasar dua hal.

Pertama, tidak ada keterlibatan pihak independen dalam Tim Kajian UU ITE. ”Seperti Komnas HAM yang selama ini menerima aduan terkait pelaporan terkait pasal-pasal karet UU ITE,” imbuhnya. Kedua, lanjut Isnur, koalisi melihat Tim Kajian UU ITE berisikan sosok-sosok yang berpotensi menghambat upaya revisi UU ITE. Padahal, koalisi sudah lama mendorong supaya UU tersebut direvisi.

Sebab, pasal-pasal karet dalam UU ITE kerap disalahgunakan untuk mempidanakan aktivis pembela HAM, pihak-pihak yang mengkritik pemerintah, bahkan jurnalis. Karena itu, koalisi mendorong pemerintah untuk melibatkan pihak independen. Selain Komnas HAM, Komnas Perempuan dinilai layak untuk masuk Tim Kajian UU ITE yang diumumkan oleh Menko Polhukam Mahfud MD, dua hari lalu (22/2), itu. (idr/deb/lum/syn/oni/jpg/riz/k8)

 

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X