Pemerintah kian gencar menjalankan program vaksinasi Covid-19. Cakupan yang divaksin bakal makin luas sampai ke daerah pedalaman. Keberadaan vaccine carrier atau perangkat pembawa vaksin menjadi tantangan tersendiri.
M. HILMI SETIAWAN, Jawa Pos, Depok
KESAN seorang guru besar hampir tidak tampak pada sosok Nandy Setiadi Djaya Putra. Rambutnya gondrong. Dikucir supaya terlihat rapi. Saat ditemui di gedung Dekanat Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI) Jumat (19/2), Nandy mengenakan setelan kemeja putih dan jins biru. ”Dari dulu sudah seperti ini,” katanya lantas tertawa.
Sejurus kemudian Nandy mengajak ke gedung Manufacturing Research Center (MRC) FTUI. Berjalan kaki. Gedung itu terlihat seperti bengkel. Beragam eksperimen mahasiswa dan dosen hampir memenuhi ruangan. Sampai di lantai 6 gedung MRC, Nandy menunjukkan inovasi yang dia hasilkan, yaitu portable vaccine carrier atau alat pembawa vaksin portabel.
Pria kelahiran Palembang, 25 Oktober 1970, itu menaruh perhatian pada konsumsi energi atau listrik PLN. Dalam setiap penelitian atau inovasinya, dia selalu mengutamakan aspek hemat energi. Bahkan, sistem pendingin ruangan di gedung MRC FTUI juga menggunakan teknologi hemat energi. Memanfaatkan termal atau panas matahari yang diolah menjadi udara dingin.
Nandy menceritakan, inovasi boks pembawa vaksin karyanya tidak dibuat khusus untuk vaksin Covid-19. ”Mulai risetnya pada 2006 lalu,” katanya. Saat itu Indonesia sedang gencar-gencarnya melaksanakan program vaksinasi polio. Hampir sama dengan program vaksinasi Covid-19, vaksinasi polio saat itu menjangkau segenap pelosok tanah air.
Nah, distribusi vaksin ke titik terpencil ternyata tidak mudah. Cara paling gampang adalah menggunakan boks yang di dalamnya diisi es. Bahkan, pernah ada yang hanya menggunakan mangkuk yang diberi es batu. Tujuannya, menjaga temperatur di dalam boks tetap bertahan di angka 2 sampai 8 derajat Celsius.
Dalam praktiknya, mengandalkan es untuk mendinginkan vaksin bisa menimbulkan risiko. Misalnya, es sudah mencair, padahal perjalanan vaksin masih jauh. Akibatnya, suhu di dalam boks tidak terkontrol. Suhunya menjadi naik dan berpotensi merusak kualitas vaksin.
Menurut lulusan The University of Federal Armed Forces, Hamburg, Jerman, itu, sistem boks pembawa vaksin menggunakan bongkahan es disebut konsep pasif. Sedangkan inovasinya bisa dikatakan berkonsep aktif karena membutuhkan energi. Namun, dia menegaskan bahwa inovasi kotak vaksinnya hemat energi.
Kuncinya ada pada penggunaan heat pipe atau pipa hangat. ”Vaccine carrier di pasaran banyak. Tidak ada yang menggunakan teknologi (heat pipe, Red) ini,” katanya. Heat pipe itu berupa pipa dengan diameter seukuran pensil yang terbuat dari tembaga. Untuk penggunaan pada kotak vaksin, panjang heat pipe sekitar satu jengkal. Setengah dari panjang heat pipe itu dilengkapi elemen menyerupai sisir yang terbuat dari aluminium.
Nandy menjelaskan, heat pipe berfungsi sebagai penghantar panas. Sedangkan fungsi bagian sisir yang terbuat dari aluminium itu memperluas area penghantar panas. Batang heat pipe ini kemudian ditempelkan pada thermoelectric cooling atau peltier element.
Cara kerjanya adalah thermoelectric menyerap suhu panas di dalam tempat penyimpanan vaksin. Nandy menjelaskan, meskipun sudah dibuatkan peredam atau isolator di tabung vaksin, suhu panas lingkungan berpotensi masuk ke dalam boks atau kotak vaksin. Dengan cara itu, suhu di dalam boks bisa sampai minus 10 derajat Celsius.