Kesuksesan Relaksasi Bergantung Kebijakan

- Kamis, 18 Februari 2021 | 14:33 WIB
Diskon PPnBM mobil baru.
Diskon PPnBM mobil baru.

JAKARTA– Keputusan pemerintah memangkas cuti bersama pada Lebaran tahun ini menuai kontroversi. Beberapa pengamat menyatakan bahwa kebijakan itu kontradiktif dengan relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) terhadap mobil baru. Jika memang mobilitas dibatasi, akan lebih baik relaksasi pajak diprioritaskan pada sektor properti.

’’Masyarakat berada dalam kebingungan. Beli mobil baru, tapi tidak boleh jalan-jalan ke luar kota,” kata ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara (17/2).

Biasanya penjualan mobil naik menjelang Lebaran. Masyarakat sengaja membeli mobil baru untuk bersilaturahmi ke kampung halaman. Mobil juga dianggap sebagai gengsi seseorang. Fenomena tersebut merupakan tradisi kelas menengah.

Masalahnya, pada masa pandemi Covid-19 seperti ini plus cuti bersama yang terbatas, masyarakat juga akan berpikir panjang sebelum membeli mobil baru. Sebaiknya pemerintah lebih fokus mengendalikan persebaran virus SARS-CoV-2 dan konsisten pada agenda tersebut.

Yang selaras dengan konsistensi pengendalian pandemi, menurut Bhima, adalah insentif ke sektor properti. Sebagai salah satu kebutuhan utama, permintaan terhadap hunian akan selalu ada. Khususnya bagi masyarakat kelas menengah.

Karena backlog atau jaminan simpanan perumahan di Indonesia cukup tinggi, masyarakat butuh jaminan ketersediaan unit dari pengembang. ’’Juga stimulus untuk tarif BPHTB (biaya perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan), pengurangan PPN (pajak pertambahan nilai), termasuk percepatan penurunan bunga KPR (kredit pemilikan rumah),” urainya.

Soal penurunan bunga KPR, lanjut Bhima, ada kaitannya dengan transmisi suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) 7 day (reverse) repo rate (BI7DRR) terhadap bunga pinjaman perbankan. Dia mendorong BI maupun instansi pemerintah terkait untuk meninjau transparansi komponen suku bunga dasar kredit (SBDK) perbankan. Mulai cost of fund, biaya overhead, hingga margin keuntungan bank. Dengan begitu, proses transmisi lebih cepat.

Sementara itu, CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan bahwa relaksasi akan menyelamatkan industri properti. Sebenarnya masyarakat tidak kehilangan daya beli terhadap properti. Mereka hanya menunda. ’’Masih ada (daya beli), terutama golongan menengah sampai atas yang bisa menjadi penyelamat pasar properti,” ungkapnya.

Berdasar riset IPW, minat masyarakat untuk membeli properti sebesar 68,09 persen. Namun, ada beberapa faktor yang membuat masyarakat menunda membeli properti. Antara lain, besarnya uang muka, tingginya suku bunga, besarnya pajak, dan biaya transaksi.

Ali meminta, insentif bunga yang diberlakukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebaiknya juga diperluas sampai masyarakat menengah. Dengan begitu, akses membeli properti semakin luas. (han/c7/hep)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Ekonomi Bulungan Tumbuh 4,60 Persen

Kamis, 28 Maret 2024 | 13:30 WIB

2024 Konsumsi Minyak Sawit Diprediksi Meningkat

Selasa, 26 Maret 2024 | 12:21 WIB
X